Page 105 - Mozaik Rupa Agraria
P. 105
pasir dan bebatuan kurang lebih selama tiga jam, tidak ada yang
sempat menolongnya karena Paijo terpisah jauh dari teman-
temannya. Saat mereka hendak mengangkut pasir, Paijo tak
kunjung hadir. Para penyenggrong mencarinya. Karena perbekalan
Paijo tergeletak tidak jauh dari tempat kejadian, mereka curiga
Paijo terkubur longsoran pasir bantaran sungai.
“Tapi tetap saja itu melanggar hukum, Pak Lik,” aku
menyanggah pamanku, Pak Lik atau Bapak Cilik adalah sebutan
bagi paman dalam bahasa Jawa. “Negara melarang pemungutan
hasil hutan di dalam taman nasional, apalagi pertambangan.
Bantaran sungai itu sudah masuk wilayah penyangga untuk
pelestarian, bukan wilayah pemanfaatan.”
“Negara mawa tata, desa mawa cara! Negara gunakan hukum,
desa gunakan kebiasaan,” bantah pamanku, “kamu tidak tahu
apa-apa soal nasib orang-orang di desamu, kalau mereka ndak
nyoker, gimana mereka mau makan? Anak-anak mereka juga
harus sekolah, butuh biaya banyak, Mar!”
“Masih banyak cara untuk membiayai hidup, Pak Lik. Mereka
bisa jadi buruh kebun salak, menanam sayur, beternak kambing
atau ikan,” bantahku, “saya bisa kok mengusulkan kerjasama
dengan dinas terkait.”
“Gombal! Omong kosong! Janjimu tinggal janji. Negara
memang paling doyan umbar janji, kamu itu bagian dari negara
to, Mar? Heh, Qomar, apa kamu tidak ingat dari mana biaya
pendidikanmu?” pamanku memancing emosiku, sambil melirik
bapakku. Bapak hanya menarik nafas panjang.
“Kamu ndak keliru, Mar. Tetapi juga ndak sepenuhnya benar.
Kita harus lentur, harus luwes. Purnomo, kamu juga jangan bicara
seperti itu. Aku ini lurah, pemimpin rakyat desa ini. Di desa ini,
aku wakilnya negara,” bapak mencoba membangun posisi, “kamu
92 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang