Page 103 - Mozaik Rupa Agraria
P. 103
Seragam telah mengukuhkan kedudukan bapakku dan
aku sebagai bagian penting dari Republik Indonesia. Mungkin,
seperti ini rasanya jadi bapakku ketika ia muda, dengan seragam
ini aku menjelma negara. Jabatanku memang tidak tinggi, namun
lumayan buat menakut-nakuti para pencuri vegetasi di lereng
Merapi. Tugasku cukup sederhana: menjaga wajah asli hutan-
hutan di sekitaran gunung Merapi; tujuannya sebagai acuan:
sejauh mana manusia boleh mencampuri urusan alam di dalam
pembangunan. Semenjak ditetapkan sebagai taman nasional
pada 2004, kehidupan di lereng Merapi berubah. Sejarah terulang
dengan kisah yang berbeda, dan aku sama sekali tak menyangka
seragamku pada gilirannya kupertaruhkan.
Malam ini, Paimin tertunduk lesu. Ia duduk di lantai bersandar
dinding batu rumah bapakku. Penyenggrong pamanku itu tampak
gelisah bercampur pasrah, nafasnya tak tertata, bahasa tubuhnya
menunjukkan kecemasan. Di sebelah kirinya, pamanku duduk
menyilang kaki di kursi, wajahnya tak kalah tegang. Sesekali ia
menghisap rokok di mulutnya dan menghembuskan asapnya
dengan resah. Aku duduk di hadapan mereka. Aku merasa malas
merebahkan badan pada sandaran kursi karena ketegangan
mereka. Di sampingku, di kursi serupa singgasana, bapakku
duduk bersandar, menunjukkan kewibawaannya, berusaha
tampak tenang. Syamsul, kakakku yang haji itu tak kunjung tiba,
padahal dia yang membuat pertemuan malam ini.
“Jadi, Min. Persisnya seperti apa kejadiannya?” bapakku
bertanya pada Paimin yang semakin gugup.
“Ampun, Ndoro Lurah. Saya jangan dipenjara, ampunilah
saya, Ndoro!” kata Paimin sambil bersimpuh di lantai, menyebut-
nyebut Ndoro pada bapak, sebutan Ndoro dan Den (Raden)
biasanya ditujukan untuk bangsawan Jawa, padahal kami bukan
bangsawan.
90 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang