Page 107 - Mozaik Rupa Agraria
P. 107
ia makin menyebalkan dengan menunjukkan persekongkolan,
“dengar itu, Mar. Paimin itu tahu berterima kasih, ndak seperti
orang-orang sekolahan, semakin pintar semakin tidak peduli
sama orang kecil. Kapan pun Paimin membutuhkan sesuatu,
paguyuban mencukupi keperluannya. Kapan negara memelihara
anak terlantar dan fakir miskin, Mar?”
Aku tidak memilih bungkam hanya karena ia adik dari
bapakku.
“Pak Lik punya KTP kan? Pak Lik masih butuh sertipikat
tanah kan? Masih perlu mengurus SIM? Atau, anak-anak Pak Lik
masih butuh ijazah dan surat nikah? Tanpa negara, Pak Lik, semua
itu tak diperoleh. Manusia butuh aturan, Pak Lik. Desa ini bukan
kebun binatang,” ujarku ketus karena paman sudah menyinggung
soal prinsip.
Sebenarnya, Paimin bukanlah satu-satunya pelaku, namun
dia yang tertangkap basah oleh staf balai taman nasional ketika
mereka melakukan pemeriksaan lapangan setelah kebakaran
hutan. Kurang lebih tiga hektar semak dan tegakan di area
penyangga dilahap api, untung saja api belum sampai merambat
ke area zona inti. Diperhitungkan dari pola penyebaran api dan
tingkat kekeringan vegetasi, kebakaran itu diduga disebabkan oleh
faktor kesengajaan. Seminggu sebelum kebakaran, sebuah mobil
bak terbuka yang dikendarai dua warga dari luar desa tertangkap,
empat kubik kayu gelondongan yang konon berasal dari pinus
mati disita oleh petugas, bersama mobil pengangkut dan awaknya.
Petugas di pos pemeriksaan tentu saja bisa membedakan kayu dari
pohon mati dan kayu dari pohon hidup, apalagi jalur yang dilewati
mobil itu adalah jalur tunggal menuju dan dari taman nasional.
Dua awak mobil itu kebetulan adalah anggota Paguyuban Gawe
Goro. Penangkapan dua pengangkut kayu illegal itu menuai protes
dari para anggota paguyuban yang lain. Mereka mendesak supaya
94 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang