Page 108 - Mozaik Rupa Agraria
P. 108
dua anggota paguyuban itu dilepaskan, namun hukum tidak bisa
ditawar. Persidangan belum lagi digelar, namun sebagian hutan
sudah terbakar.
Bapak dimintai keterangan perihal kebakaran. Bapak
menyangkal kebakaran itu ada hubungannya dengan peristiwa
pencurian kayu sebelumnya. Kemungkinan seorang pendaki lupa
memadamkan perapian yang dibuatnya, mungkin saja seorang
pengumpul recek tanpa sengaja meninggalkan puntung rokok
yang menyala sehingga menyulut semak-semak, mungkin saja api
itu berasal dari gesekan dahan-dahan kering mengingat bulan ini
masih musim kemarau. Apa pun itu, sulit membuktikan bahwa
kebakaran tersebut berhubungan dengan tuntutan paguyuban.
Malam ini api kembali tersulut melalui adu mulut antara aku
dan pamanku. Kali ini bukan tegakan pinus yang berubah jadi
bara, melainkan keberadaan dan kewibawaan negara yang sedang
dibakar. Bagiku, hanya ada satu kata untuk kejahatan ini: makar!
“Ampun, Ndoro. Apa saya masih boleh nyoker, Ndoro?” Paimin
bertanya, setengah memohon.
“Hmm…Ndak tahu, Min. Saat ini, nasib kamu bergantung
pada kebaikan negara,” ujar bapak ragu.
“Paimin, sudah kubilang ndak usah cemas. Negara ndak
pernah bisa merampas nafkahmu. Kalau kamu ndak mengambil
pasir-pasir itu, terus pasir itu menggunung di tengah sungai,
nanti kalau banjir lahar dingin datang maka pasir akan mengubur
seluruh desa ini. Gunung Merapi selalu berbagi rejeki, Min. Jangan
cemas. Tanyalah Qomar itu kalau kamu ndak percaya Merapi rutin
erupsi,” tampaknya pamanku menguji mentalku.
“Apa betul, Den Qomar? Apa betul Merapi mesti... apa itu
namanya… nginterupsi?”
Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 95