Page 113 - Mozaik Rupa Agraria
P. 113
bibit-bibit gayam (Inocarpus fagifer ) serta pohon pengikat air
lainnya, musim hujan tahun ini mereka akan mulai menanam.
Itu semua tanpa bantuan pemerintah,” bapakku tampaknya
mengambil kebijaksanaan, dan aku masih terbungkam.
Bapak benar, zonasi belum ditetapkan. Pembagian fungsi
kawasan belum diputuskan. Berapa banyak dan kapan pasir-pasir
boleh diambil juga belum ditentukan. Semua menanti kehadiran
negara. Negara yang masih bungkam seperti diriku. Telepon
genggam pamanku berdering, menandakan ada pesan pendek
yang masuk.
“Kang, Syamsul dalam perjalanan ke sini,” pamanku
memberitahukan posisi kakakku kepada bapakku.
“Apa kamu siap menanggung akibat perbuatanmu, Min?” aku
bertanya pada Paimin. Paimin menjadi gugup.
“Ampuni saya, Den Qomar. Ampuni saya, Ndoro Lurah. Den
Purnomo, tolonglah saya…”
“Diam kamu, Min! Sudah kubilang, ndak ada yang bisa
memenjara kamu selama gunung Merapi ndak mati. Polisi pasti
segan sama veteran, Min” pamanku memberi harapan palsu.
Di luar rumah, suara mobil menderu. Perlahan suara itu
semakin keras, tepat di halaman rumah suara itu terhenti,
kemudian disusul suara pintu mobil dibanting, lalu terdengar
derap langkah kaki.
“Assalamu‘alaikum…,” kakakku menyapa di rongga pintu.
“Wa’alaikum salam…,” kami menyahut hampir bersamaan.
“Syamsul. Piye, Ngger, bagaimana, Nak?” bapakku bertanya,
meminta kepastian.
100 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang