Page 111 - Mozaik Rupa Agraria
P. 111
“Bapakmu ini dipilih rakyat menjadi kepala desa, sudah
menjadi tugasku mengayomi. Rakyatku itu banyak jenisnya, Mar.
Ndak cuma hansip, petani, guru, buruh, pedagang, tetapi juga
penyenggrong. Aku juga abdi negara seperti kamu. Marilah kita cari
penyelesaian yang saling menguntungkan,” bapak membujukku.
“Memelihara pelanggaran hukum bukanlah penyelesaian,
Pak. Perkara Paimin itu sudah terlanjur masuk laporan yang
berwajib, meski pun pelapornya bukan aku,” sanggahku.
“Ini diskresi, Mar. Ini keputusan yang harus diambil karena
ketentuan belum mengaturnya. Diskresi bukanlah pelanggaran.
Kita tidak akan mengubah bunyi aturan, biarlah bunyi aturan
tetap sama. Kita hanya ingin pelaksanaannya tidak kaku.”
“Apa hasil diskresi ini juga untuk menaikkan kas desa? Untuk
menghidupi Gawe Goro? Apa diskresi ini sengaja dibiarkan
menjadi erosi?” aku tak bisa menahan emosiku, bapakku hanya
diam.
“Apa Syamsul sudah memberi kabar, Pur?” Bapak bertanya
kepada paman, mengalihkan pembicaraan.
“Belum, Kang,” jawab pamanku. Bapak terdiam untuk
beberapa saat, lalu ia menghela nafas panjang.
“Sekarang keadaannya jauh lebih baik, Mar. Sebelum
kawasan ini jadi taman nasional, bego-bego mengeruk semua
pasir itu sampai dekat Kandang Macan. Kita bahkan tidak bisa
membangun jalan karena pemodal-pemodal besar itu pelit
berbagi keuntungan, mereka juga tidak menanggung kerugian
apapun jika lereng Merapi rusak karena mereka tinggal di kota.
Sudah sepuluh tahun lereng ini jadi taman nasional. Berkat taman
nasional, aku punya alasan mengusir bego-bego itu,” argumentasi
bapakku.
98 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang