Page 106 - Mozaik Rupa Agraria
P. 106
tahu ndak, Min? Kita sudah bikin perjanjian sama orang balai
taman nasional, penyenggrong tidak boleh nyoker di bantaran
sungai, itu juga karena temanmu, Paijo itu, kejugrugan.”
“Mengerti, Ndoro Lurah. Tapi kata Den Purnomo, di tengah
sungai hanya tinggal batu, Ndoro. Saya ndak diupah buat gempur
batu,” Paimin berupaya menjelaskan keadaannya, bapak menghela
nafas panjang.
“Apa benar itu, Pur? Di tengah sungai tinggal ada batu saja?”
“Nggak juga, Kang. Paimin ndak sepenuhnya benar,” ujar
pamanku. Kang adalah sebutan bagi kakak lelaki, “Tengah sungai
di dekat Kandang Macan masih banyak pasirnya,” pamanku
tampaknya sengaja memancing suasana makin panas. Aku
menahan kejengkelanku.
Bapak mulai angkat bicara. “Begini, Min. Kamu juga musti
dengar baik-baik, Pur. Ini yang terakhir kalian atau siapapun
nyoker di bantaran sungai, apalagi mendekati Kandang Macan.
Min, aku tidak akan ragu menyerahkanmu pada yang berwajib
kalau sampai terjadi pelanggaran lagi.”
“Halah! Min, kamu ndak usah cemas. Paguyuban Gawe
Goro pasti akan mendukungmu. Aku jamin kamu ndak akan
dipolisikan, kamu rajin setor hasil nyoker ke paguyuban kan?”
pamanku memastikan.
“Inggih, Den. Matur sembah nuwun,” Paimin mengucapkan
terima kasih pada pamanku dalam bahasa Jawa halus, “saya tak
pernah lupa pemberian Den Purnomo, sarung, baju anak-anak,
dan kue-kue lebaran dua pekan lalu juga masih ada.”
“Bagus, bagus. Tapi semua pemberian itu bukan dari aku, Min.
Itu Paguyuban Gawe Goro yang menyantuni setiap anggotanya.
Berterima kasihlah sama Genjik, ketua paguyuban,” ujar pamanku,
Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 93