Page 119 - Mozaik Rupa Agraria
P. 119
perempuan-perempuan muda yang menurut Suci, cucunya,
adalah kelompok penyanyi dari Korea. Sebenarnya anak itu tak
mengikuti musik-musik dari luar negeri. Di kalangan anak-anak
sini, dangdut koplo lebih masuk di hati dan telinga. Kaos semacam
itu kebetulan ada saja di pasar kecamatan.
Saat mata Atun tertumbuk pada kaos itu, kembali ia teringat
akan hal yang membuatnya gelisah. Sudah dua hari Suci belum
pulang. Bahkan tas ransel dan beberapa potong baju dibawanya
serta.
Sepagian Atun sudah berkeliling ke mana-mana. Tetangga-
tetangga tak ada yang tahu keberadaan anak itu. Bertanya pada
pemilik warung makan tempat anak itu sering menyambung WiFi
pun tak membuahkan hasil. Informasi dari teman-temannya juga
nihil. Tak ada yang tahu kenapa Suci tak masuk sekolah. Menurut
seorang anak, pesan yang terkirim masih centang satu.
Siang ini seharusnya Atun melanjutkan rute memulung di
desa sebelah. Wisata pantai sedang sepi. Tak banyak botol dan
kaleng yang dapat ia kais. Namun, urusan mencari cucunya lebih
penting. Mungkin Menil si pemilik salon bisa membantu. Ia selalu
tahu kabar angin dari segala penjuru. “Kepo”, kata orang-orang.
Atun pun melangkahkan kakinya melalui gang-gang sempit
berpasir yang tak beraturan.
Seperti pasir pantai yang menjelma jalanan dan
pekarangannya, kampung ini serba sementara dan tidak ajek.
Orang datang dan pergi silih-berganti. Namun, seperti juga pasir
yang berasal dari bebatuan di pucuk-pucuk gunung, lapuk oleh
cuaca, terbawa badan air, dan berakhir di pantai ini, bagi orang-
orang ini kampung ini juga adalah muara perjalanan, suaka bagi
mereka yang terbuang. Kampung halaman ditinggalkan bersama
masalah-masalah yang tak pernah selesai. Tempat yang asing ini
106 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang