Page 120 - Mozaik Rupa Agraria
P. 120
memberikan ilusi rasa aman untuk menjadi apa pun, berbuat apa
pun. Orang-orang yang saling asing dipersatukan oleh perasaan
sebagai sesama kaum yang tercerabut dan selamanya takkan
pernah bisa pulang.
Seperti banyak perempuan di kampung ini, Atun pensiunan
dunia hiburan malam. Lebih dari separuh usia hidupnya ia
habiskan di sini, tempat yang jauh berbeda dari kampung masa
kecilnya di pegunungan. Samar-samar masih ia ingat aroma manis
gaplek yang ditumbuk ibunya di rumah tabon. Telah bertahun-
tahun ia tak lagi menginjakkan kaki di rumah tepi hutan jati itu.
Sepetak pekarangan itu semestinya menjadi hak waris ibunya.
Namun, ketika ada program pemutihan, petugas yang lalai dan
malas malah mencantumkan nama paman Atun yang tinggal di
sana, bukan ibunya. Repot, katanya, kalau harus mencari ibu Atun
yang saat itu sedang merantau di kota. Meskipun mereka bilang
rumah itu tetap rumah ibu Atun, pada kenyataannya bertahun
kemudian mereka berpegangan pada dokumen negara untuk
mengklaim tanah itu.
Tanpa rumah untuk pulang, pada akhirnya Atun terdampar di
kampung tepi pantai ini. Setelah tak lagi bekerja di dunia malam,
Atun melakukan rupa-rupa pekerjaan demi menyambung nafas
dari hari ke hari. Ia pernah bekerja sebagai buruh pabrik arang,
pemasok sate usus untuk angkringan, dan penjaja souvenir kerang
untuk wisatawan di pantai. Belakangan, bersama perempuan-
perempuan tetangganya, ia bekerja mencari pandan untuk
dipasok ke pengusaha kerajinan. Pandan itu tumbuh liar di
gumuk pasir sekitar kampung mereka. Berpanas-panas mereka
mencari pandan, merebus, merendam, dan menjemurnya.
Upahnya tak seberapa walaupun si juragan kerajinan itu sukses
mengekspor produknya ke luar negeri. Tanah dan rumahnya di
mana-mana. Mobilnya ada beberapa. Konon di tempat bernama
GEDSI dan Agraria 107