Page 124 - Mozaik Rupa Agraria
P. 124

tidak ketemu-ketemu juga. Pusing kepalaku. Ke mana anak itu?”
           terdengar gusar dan gelisah pada ucapan Atun.
               “Lho kok bisa tidak pulang?”

               Atun pun menceritakan yang terjadi . Ia mengakhiri dengan
           ungkapan kecemasan kalau-kalau anak itu melakukan yang tidak-
           tidak.
               “Aku  tak  tahu, Mak.  Tapi kapan itu  sudah  agak lama  dia
           pernah ke sini. Minta dipotongin poninya. Terus dia nanya-nanya
           sambil cengengesan, kalau kerja kayak kerjanya Bude Menil dulu
           kayak gimana. Ya kubilang nggak usah yang aneh-aneh. Sekolah
           saja sampai selesai terus melamar di pabrik wig kayak anaknya Bu
           Ngadilah. Aku bener ngomong kayak gitu kan, Mak?”
               “Sudah benar seperti itu. Keinginanku juga begitu pada anak
           itu.”

               “Sudah tanya-tanya ke karaoke, Mak?”
               “Belum. Nanti akan ke sana.”

               “Kalau  tidak ketemu juga, ke kantor  polisi  saja,  Mak.  Bisa
           kuantar perginya.”

               Atun mengiyakan. Namun,  dalam hatinya ia membatin,
           dengan Mami Yati, ia akan mencoba, tetapi kantor polisi adalah
           tempat terakhir yang akan ia tuju. Atun mempunyai hutang dua
           juta pada seorang polisi di sana yang membuka “jasa” peminjaman
           uang. Hingga si induk lunas, “jajan” Rp50.000 wajib dibayarkan
           setiap pekan. Atun menunggak dua pekan dan sedang tak ingin
           berurusan dengan polisi itu.
               Setelah berpamitan, ia pun berjalan ke arah kompleks karaoke.
           Keadaan  tempat  itu  pada  siang  hari  sangat  bertolak  belakang
           dengan hingar-bingar pada malam harinya. Atun langsung masuk




                                                  GEDSI dan Agraria  111
   119   120   121   122   123   124   125   126   127   128   129