Page 127 - Mozaik Rupa Agraria
P. 127
“Ci, Suci. Si Mak ini mencari kamu ke mana-mana. Tidak
ketemu-ketemu. Katanya kamu dibawa orang. Kamu tahu
khawatirnya Si Mak ini?” Ada getar dalam suaranya.
Suci hanya menunduk.
“Coba sini Si Mak lihat. Apa ada yang melukaimu?” ujar Atun
sambil meraih kedua tangan cucunya untuk diperiksa jika ada
goresan atau luka.
“Tidak kenapa-kenapa, kok, Mak. Aku cuma di sini. Kapan itu
ada om-om mengajak pergi naik mobil tapi aku takut terus lari ke
sini. Mak, maaf aku sudah bikin Mak khawatir.”
Semua bayang-bayang gelap di hati Atun pun segera sirna.
Saat Suci mulai meninggalkan masa kanak-kanak dan punya
keinginannya sendiri, hampir tak pernah lagi Atun memeluknya.
Tapi kali itu ia memeluk cucunya erat-erat.
“Mak, anak LC kan nggak mesti jadi LC ya, Mak?” tanya Suci
setelah Atun melepaskan pelukannya. Atun tahu pertanyaan itu
tak memerlukan jawaban.
“Ada yang ngomong begitu sama kamu?”
“Kata ibunya Aida, aku ini sudah mirip ibuku. Kenapa repot-
repot sekolah kalau bekerja seperti ibuku saja pasti cepat dapat
uang. Lagian anak kayak aku katanya bisa bikin malu sekolahnya.”
Atun segera paham. Bu Hidayati, ibu teman Suci itu, adalah
pegawai tata usaha di SMK yang dihindari Suci.
“Mana bisa seperti itu. Jadi guru, jadi perawat juga bisa kalau
kamu mau. Tak usah didengarkan omongan seperti itu. Sepertinya
minta dilabrak ibu satu itu.”
“Eh, jangan, Mak! Aku masih mau temenan sama Aida.”
“Aida ya Aida. Kan beda sama ibunya.”
114 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang