Page 125 - Mozaik Rupa Agraria
P. 125

menuju ke bagian belakang rumah, hafal di mana si Mami dan
           perempuan-perempuan di sana biasa berkumpul.
               “Saya  mencari cucu saya, anaknya  Mariyana. Apa ada yang
           melihatnya di sini?” tanya Atun begitu melihat si Mami tampak
           duduk lesehan di ruang makan bersama gadis-gadis yang bekerja
           di sana.

               “Oh, Mbak Atun. Suci, ya? Sudah besar anak itu sekarang ya.
           Belum lama bukannya dia makan di warung padang di tikungan,
           Mel?”  Kalimat  terakhir ditujukan  kepada seorang gadis dengan
           rambut pirang yang sedang asyik dengan ponselnya.

               “Oh yang rambutnya ponian? Iya, Mi. Ditraktir makan sama
           om-om yang dari Magelang itu.”
               Seakan  sesuatu  tiba-tiba menghimpit  dada  Atun ketika ia
           mendengar itu.

               “Om-om  bagaimana?  Lha  terus  sekarang anak  itu ada di
           mana?”
               “Ya saya tidak tahu. Cuma lihat. Saya ingat karena ada teman
           bilang ibu adik itu dulu anak sini. Kalo si om itu waktu di sini
           bilang akan pulang hari Jumat. Jadi mungkin sudah kemarin.”

               Seluruh persendian di tubuh Atun serasa dilepas satu demi
           satu.

               “Lho saya kirain sudah biasa seperti itu. Main dengan om-om.
           Makanya saya tidak merasa ada yang janggal,” tiba-tiba si Mami
           menimpali. Semua orang tahu tiap malam ia mengungsikan anak-
           anaknya ke  rumahnya  di kampung  sebelah  agar mereka  tidak
           menyaksikan perilaku orang dewasa di rumah karaokenya. Sayang
           sekali rasa melindungi itu tidak ia terapkan pada anak orang lain,
           apalagi yang menjadi sumber pundi-pundinya.





           112    Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
   120   121   122   123   124   125   126   127   128   129   130