Page 126 - Mozaik Rupa Agraria
P. 126
“Biasa, biasa bagaimana? Cucu saya itu anak sekolahan. Tidak
biasa dengan yang seperti itu,” Atun membalas dengan gusar. “Jika
kalian melihat cucu saya, tolong sampaikan padanya untuk segera
pulang.”
Atun pergi dari tempat itu dengan kegundahan yang kian
mendalam. Memang sebagai anak yang sedang memasuki masa
remaja, adakalanya anak itu membuatnya jengkel karena lebih
suka bermain HP dan enggan menuruti permintaannya. Meskipun
kadang memarahinya, Atun tak bisa membayangkan jika ada hal
yang buruk terjadi pada anak itu. Seluruh ingatannya sebagai
perempuan menyeruak ke permukaan. Seluruh derita menghadapi
kerasnya kehidupan kembali berputar-putar di kepalanya.
Ia tanyai pekerja di warung yang terakhir kali melihat anak
itu. Konon memang ada laki-laki paruh baya yang mengobrol
dengannya dan membayari makan siangnya. Setelah mereka pergi
dari warung, tak ada lagi yang tahu keberadaan keduanya.
Akhirnya Atun mengambil keputusan: kecemasan yang lain
harus dikesampingkan. Ia harus pergi ke kantor polisi segera.
Jalan pintas menuju kantor polisi itu berupa semak-semak
yang tumbuh di pasir dengan diselai pohon siwalan di sana-sini.
Di satu sisi teronggok sebuah bangunan mangkrak yang penuh
coretan cat semprot warna-warni. Kaki Atun telah letih tetapi ia
memaksakan diri untuk terus berjalan.
“Mak!”
Tiba-tiba terdengar suara yang sangat ia hafal. Dari balik
semak-semak di sudut bangunan mangkrak itu menyembullah
kepala dengan kuncir rambut yang acak-acakan. Atun segera
mengenali wajah itu sebagai wajah cucunya. Tak terkira kelegaan
yang menyelimuti hatinya. Wajah anak itu tampak ragu-ragu
seperti takut dimarahi. Atun segera mendekatinya.
GEDSI dan Agraria 113