Page 122 - Mozaik Rupa Agraria
P. 122
teringat akan sorot mata polos bocah yang menangis memanggil-
manggil ibunya malam itu. Orang-orang di luar kampung ini
menganggap tempat ini semacam tempat pembuangan akhir
yang penuh sampah. Namun, bahkan ia yang bergumul noda
mengetahui seorang anak terlahir dengan kemurnian belaka.
Beberapa hari sebelumnya Suci menyampaikan keinginan
untuk melanjutkan ke SMK di tempat yang agak jauh dan
minta dibelikan motor. Sebenarnya Suci bukan anak penuntut.
Pergaulannya dengan teman-teman sebaya bukannya tidak
menulari dengan keinginan membeli barang ini-itu. Tapi ia
tahu merengek seperti apa pun kalau neneknya tak punya
uang, keinginannya tak akan kesampaian. Atun berkeberatan
karena motor paling murah sekalipun jauh dari jangkauan
kemampuannya. Pilihan paling masuk akal adalah sekolah
terdekat yang dapat dijangkau dengan sepeda seperti biasanya.
Entah kenapa kali itu Suci begitu ngotot dengan permintaannya.
Atun hanya bergeming. Ia masih berberat hati memenuhi
keinginan itu. Sebelum ngambek ngomong, anak itu sempat
berkata, “Ya sudah, biar aku cari uang sendiri.”
Atun hanya membiarkan. Paling sehari-dua hari lagi suasana
hati anak itu sudah kembali seperti sedia kala, batinnya. Mendapati
anak itu tak pulang-pulang juga, kecemasan mulai menghinggapi
hati Atun. Apa yang dipikirkan anak itu dan di mana pula ia
sekarang? Anak umur empat belas tahun mau cari uang dengan
cara apa? Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. Apalagi
mengingat kampung ini penuh labirin yang gampang membuat
tersesat siapa saja. Apa pun latar belakang almarhumah ibu Suci
dan juga Atun sendiri, sampai kapan pun Atun akan selalu ngeman
pada anak itu. Bahkan ia pindah ke area yang agak jauh dari pusat
hiburan malam itu agar Suci tak berurusan dengan orang-orang di
sana. Memang apa mau dikata kebanyakan anak-anak di sini telah
GEDSI dan Agraria 109