Page 121 - Mozaik Rupa Agraria
P. 121
Internet ia menyebut pabrik kerajinannya “memberdayakan
kaum perempuan”. Kata-kata itulah yang membuat produknya
laku keras karena konon orang-orang yang hidup makmur di luar
negeri sana merasakan kepuasan batin jika barang yang mereka
beli memiliki nilai tambah tertentu. Bagi Atun, kata-kata besar itu
samar-samar saja, hampir-hampir tak bermakna.
Ia berhenti mencari pandan karena gumuk pasir tempat
tumbuhnya pandan itu telah “dibersihkan” oleh negara.
Konon gumuk pasir itu harus dilindungi seperti binatang yang
hampir punah. Gubuknya dan gubuk tetangga-tetangganya
dianggap sebagai pengganggu yang harus dibersihkan. Ternyata
penggusuran itu tak ada hubungannya dengan melindungi
apa pun. Belakangan ATV berseliweran naik-turun gundukan
pasir itu, dikendarai turis-turis kota yang hanyut dalam fantasi
petualangan.
Gubuk Atun dari kayu-kayu hanyutan sungai dan sederhana
saja. Tapi dengan gubuk itu ia tak harus merogoh uang sewa
bulanan. Ketika gubuk itu dirobohkan, ia kembali teringat rasa
kehilangan akan rumah masa kecilnya. Yang membuatnya kian
nyeri, cucu yang ia sayangi juga harus mengalami rasa kehilangan
yang sama.
Banyaknya manusia berarti banyak pula sampah yang
ditimbulkannnya. Kini Atun pun memulung botol plastik, satu
demi satu, dengan ketekunan hewan renik pengurai. Apa pun agar
ia dan cucunya dapat bertahan hidup.
Ia mengasuh anak itu sejak sebelas tahun yang lalu. Suciati
adalah anak Mariyana, seorang pemandu karaoke yang meninggal
karena sakit liver. Menenggak alkohol tiap malam menggerogoti
tubuh dan kesadarannya. Kerabat Mariyana ogah mengurus anak
tanpa bapak itu. Jadilah balita Suci berada dalam asuhan Atun.
Tiap kali anak itu rewel dan membuatnya kerepotan, Atun selalu
108 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang