Page 130 - Mozaik Rupa Agraria
P. 130
Penolakan dan kerasnya kehidupan membuat kesehatan mental
waria rawan.
Tanpa KTP, mereka tidak dapat melamar pekerjaan, membuka
rekening bank; tidak dapat naik kereta api atau pesawat; tidak
berkesempatan mempunyai jaminan kesehatan; mustahil
mempunyai Surat Ijin Mengemudi (SIM) dan sertipikat tanah,
terlilit hutang lintah darat, dan sulit memperoleh pekerjaan yang
lebih baik serta aman. Ketiadaan KTP membuat waria terancam
hidup di jalanan seterusnya, terkondisikan miskin dan tanpa
layanan publik mendasar.
Ditemui di sela-sela diskusi film Perempuan Tanpa Vagina
(Rabu, 20 November 2019) bersama para akademisi, Jenny (41)
mengungkapkan, “Saya beruntung memperoleh KTP karena
keluarga saya tidak mengasingkan saya, meskipun sempat menolak
jati diri saya saat saya SMP,” pengakuan nya. Pengurus lembaga
keuangan mikro suatu aliansi waria di Yogyakarta itu pernah pula
membuka salon di Sumedang. Menurutnya, hambatan terbesar
ada pada diri waria sendiri. Memperoleh Kartu Keluarga (KK) atau
Surat Pindah dari daerah asal tidak mudah, pertama banyak waria
yang sudah putus komunikasi dengan keluarga, kedua kembali
ke masa lalu yang penuh trauma kekerasan itu berat, ketiga
adakalanya keluarganya sudah tidak ditemukan lagi karena
kampungnya sudah berubah jadi kawasan proyek kepentingan
umum, tambang, dan sebagainya.
Shinta Ratri (57), Pengasuh Pesantren Waria Al Fatah di
Celenan, Bodon, Jagalan (Kotagede), Banguntapan, Bantul,
mengungkapkan kekesalannya (Rabu, 20 November 2019). “Saya
iri dengan nasib waria di Nepal atau Pakistan yang identik dengan
negara berpenduduk mayoritas muslim. Di sana waria dihormati
dan diakui negara.”
GEDSI dan Agraria 117