Page 134 - Mozaik Rupa Agraria
P. 134
Shinta mengungkapkan, menjalani hidup sebagai waria itu
berat. Dibenci karena berbeda, dibedakan karena prasangka,
dijadikan bahan lelucon karena gerak tubuh, dicemooh karena
dimiskinkan, dijauhi karena penampilannya, dicurigai karena
dituduh penuh dosa, bahkan dianggap memalukan sehingga tidak
diakui keberadaannya. Mayoritas masyarakat masih merasa jijik
pada waria. Saat waria wafat, mereka masih saja telantar, lebih-
lebih waria tanpa keluarga, warga non waria biasanya enggan atau
sungkan mengurus jenazahnya. Menurutnya, waria itu istimewa
(khusus) namun nasibnya tidak diistimewakan.
Merespon kebutuhan umum waria, salah satu program
unggulan Pesantren Al Fatah adalah Pemulasaran Jenazah agar
jenazah waria tanpa keluarga ada yang memandikan. Adanya
organ tubuh perempuan dan laki-laki di tubuh waria membuat
laki-laki atau perempuan yang hendak memandikan mundur.
“Memandikan jenazah biasanya ditangani tenaga profesional di
rumah sakit, kami ingin jenazah waria dirawat secara manusiawi
tak hanya profesional, ternyata ini masalah waria se-Indonesia”
imbuh Shinta Ratri, “Kami belajar dari Pondok Pesantren Al
Munawwir Krapyak Yogyakarta”
Pengajar ilmu agama dan keterampilan hidup di Sekolah Sore
Pesantren Al Fatah merupakan relawan dari perguruan tinggi
negeri maupun swasta, baik dosen maupun mahasiswa. Kegiatan
di Pesantren Al Fatah selalu melibatkan warga sekitarnya. Sebulan
sekali waria non muslim siraman rohani di kapel Universitas
Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta atas upaya organisasi.
Pesantren Al Fatah membantu anggotanya yang terkena kasus
hukum, mengalami depresi dan persekusi melalui Waria Crisis
Centre, bekerjasama dengan LBH Yogyakarta; Fakultas Ushuluddin
UIN SUKA; dan Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa Yogyakarta.
GEDSI dan Agraria 121