Page 137 - Mozaik Rupa Agraria
P. 137
Shinta Ratri menambahkan, gejala konservatisme
dalam beragama para pemeluknya turut ambil bagian dalam
merawat homophobia, “Konservatisme dalam beragama dapat
menyuburkan radikalisme dan intoleransi, jika pemeluknya tidak
hati-hati.”
Senada dengan Shinta Ratri, Hairus Salim, salah satu penulis
buku riset Krisis Keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas
di Yogyakarta (2017), menemukan praktik main hakim sendiri
(vigilantisme) terhadap kelompok tertentu, termasuk waria,
dilandasi akar masalah, salah satunya di wilayah teologis,
“Mereka menganggap kerusakan lingkungan, sosial, ekonomi,
budaya bukan karena salah urus, tapi akibat pelanggaran hukum
agama menurut tafsir mereka,” jelasnya melalui wawancara via
telepon (Rabu, 20 November 2019). Sehingga, reaksinya mudah
menyalahkan, menghakimi, dan menghukum.
Persekusi oleh kelompok intoleran tidak menyasar pada
kelompok ekonomi kuat meskipun mereka sangat mudah dilabeli
serupa waria. Jenny mengungkapkan kekesalannya, “Mereka
tidak inklusif, berperilaku dan berpenampilan seperti waria
untuk pekerjaan, atas nama seni.” Menurut Hairus Salim, modal
mampu membeli keamanan sehingga kelompok kuat bisa bebas
dari persekusi.
Waria dan Keistimewaan DIY
Sepuluh tahun terakhir, Shinta Ratri merasakan perubahan
sikap pemerintah dan masyarakat secara luas terhadap waria.
Dulu ia dan komunitas waria sering dilibatkan sebagai juri masak
lomba peringatan HUT RI. Festival Kesenian Yogyakarta (FKY,
tahun 2022 menjadi Festival Kebudayaan Yogyakarta, keterangan
penulis) yang diikutinya terakhir tahun 2010. Kegiatan budaya di
desanya pun ia tak lagi dilibatkan. Pesantren Al Fatah memilih
124 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang