Page 136 - Mozaik Rupa Agraria
P. 136
Sekretaris Camat Banguntapan mengakui pihaknya
mengetahui keberadaan Pesantren Al Fatah dan membenarkan
bahwa tidak ada konflik Pesantren Al Fatah dengan masyarakat,
“Kegiatan mereka mengaji dan mereka tidak tinggal menetap,
meskipun belum jelas legalitasnya.”
Sikap pembelaan KH Abdul Muhaimin pada hak-hak
kemanusiaan waria berbuah tuduhan oleh FJI bahwa ia pendukung
LGBT, “Saat Al Fatah digeruduk FJI, saya tidak diundang pihak
pemerintah sehingga tidak berkesempatan menjernihkan
keadaan.” Sebagai pemuka agama, ia merasa wajib melayani,
melindungi, memenuhi hak-hak keagamaan waria, “Kok gampang
menuduh saya mendukung LGBT? Mereka tiba-tiba menghakimi
waria sesat, harus tobat dulu sebelum ibadah, saya ditanya apakah
saya bisa menormalkan waria?” kata Pengasuh Pondok Pesantren
Tahfidz Qur’an Nurul Ummahat, Prenggan, Kotagede, Kota
Yogyakarta itu.
Untuk mengurai persoalan waria, perumusan Fiqh Waria
antara Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Jepara dengan
Pesantren Al Fatah dilakukan sekitar 2015 lalu, atas inisiasi
kyai yang juga menggeluti isu Keistimewaan DIY ini. Baginya,
Pesantren Al Fatah sudah mengubah penghidupan waria menjadi
lebih baik dan bermartabat, perlahan-lahan. Persekusi FJI pada
2016 lalu sempat membuat warga Jagalan dan pegiat Pesantren Al
Fatah berjarak, namun kini situasi kembali pulih seperti sediakala.
Jenny berpendapat, pelabelan proLGBT bagi para pembela
hak-hak waria tidak relevan karena mereka bertindak berdasarkan
kemanusiaan. Kecurigaan, kebencian, kejijikan, dan ketakutan
pada waria muncul karena kurangnya pemahaman terhadap
waria, “Homophobia terhadap waria imbang antara laki-laki dan
perempuan. Laki-laki berprasangka waria agresif, perempuan
berprasangka waria galak.”.
GEDSI dan Agraria 123