Page 220 - Mozaik Rupa Agraria
P. 220
Peristiwa itu merupakan reaksi dari upaya hukum para penyintas
yang intensif sejak 2013.
Wang Xiang Jun (46), pelaku usaha di Malioboro, menuliskan
sejarahnya sebagai WNI etnis Tionghoa di DIY yang sarat pernik-
pernik konflik dalam Menyingkap Jejak Keadilan Tionghoa.
Menurutnya menjalani hidup sebagai WNI etnis Tionghoa itu
tidak mudah. Sejak zaman kolonial, etnis Tionghoa dimanfaatkan
sebagai perantara dan mesin pencetak uang oleh para raja
maupun pemerintah kolonial. Untuk mengisi kas kerajaan yang
baru berdiri, Sultan Hamengku Buwono I mempercayakan
etnis Tionghoa sebagai penarik pajak. Etnis Tionghoa juga
dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial sebagai perantara antara
pemerintah kolonial dengan etnis lain, utamanya etnis lokal.
Berbagai hak pengelolaan dilekatkan pada etnis Tionghoa oleh
pemerintah kolonial, misalnya tol, candu, rumah gadai, pajak.
Etnis Tionghoa dirancang menjadi kelompok mapan, namun
dibenci rakyat yang menderita karena sistem kolonial yang selaras
sistem feodal. Posisi ini sangatmenguntungkan penguasa, saat
terjadi kerusuhan maka etnis Tionghoa mudah diserang. Kontrol
terhadap etnis Tionghoa juga dilakukan melalui kapitan-kapitan
yang diangkat oleh kolonial.
Kebencian dan permusuhan terhadap etnis Tionghoa dipoles
menjadi sikap ketidaksenangan kaum miskin terhadap kaum
kaya, tanpa pernah melihat kenyataan etnis Tionghoa juga hidup
di kantung-kantung kemiskinan.
“Perlakuan diskriminasi dan kerusuhan selama beberapa abad
membuat masyarakat TionghoaIndonesia tumbuh abnormal,
menjadi stereo type masyarakat yang inferior, minder, penakut,
tertutup, dan penuh syak wasangka, nrimo, dan menghindari
masalah yang bukan urusannya atau cari aman” ujar Willie
Hak Asasi Manusia dan Agraria 207