Page 219 - Mozaik Rupa Agraria
P. 219
“Silakan, Pak. NKRI negara hukum, silakan lapor polisi..” kata
Willie yang disambut pemutusan telepon oleh orang itu
Hal serupa telah terjadi jauh hari.
19 Agustus 2015. Petang itu, Willie Sebastian berserta Sekretaris
GRANAD kala itu, Siput Lokasari—salah satu tokoh yang getol
memperjuangkan persamaan hak warganegara, dan Handoko
diajak bertemu oleh Eddy Tjia Susanto, taipan kepercayaan Sultan
Hamengku Buwono X, pemegang konsesi bisnis Ambarukmo
Plaza dan pemilik Formula Land. Pertemuan itu dipicu oleh berita
salah satu media nasional terkemuka yang mengangkat ironi
diskriminasi etnis dan ras dalam kebijakan pertanahan di DIY.
Di Hotel Ambarukmo Plaza, keempat penyintas itu diwejang
untuk tahu diri, waspada, dan turut merawat tradisi dengan
senantiasa bersikap sendiko dhawuh—siap melaksanakan perintah
dan kehendak, Sultan HB X maupun kerabatnya. Hubungan yang
saling menguntungkan antara elit-elit WNI Keturunan (tak hanya
Tionghoa) dengan Keraton sudah terjalin baik sejak berabad-abad
silam, melukai harga diri Sultan HB X berarti mempermalukan
diri sendiri. Mereka diingatkan bahwa sikap mereka telah
mengganggu relasi bisnis elit-elit WNI Keturunan dengan Sultan
Hamengkubuwono X, raja yang telah memberikan pengayoman
dan kemudahan investasi. Menyintas berarti melanggar batas.
Diskriminasi terhadap Tionghoa di DIY selalu memperoleh
dukungan dari isu bahwa Tionghoa itu asing, tidak tahu sejarah
bangsa, pengkhianat, kaya, pelit, dan serakah.
Pada 1 Maret 2018 ratusan massa penolak persamaan hak
atas tanah di Yogyakarta berhimpun, di antara mereka terdapat
kerabat Keraton, budayawan, dan para elit WNI etnis Tionghoa
yang sangat mendukung Instruksi Kepala Daerah DIY 1975.
206 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang