Page 216 - Mozaik Rupa Agraria
P. 216
Argumentasi yang mempertahankan Instruksi Kepala Daerah
DIY 1975 sebagai affirmative action telah dipatahkan KOMNAS
HAM pada 2014 lalu. Pun AAUPB harus selaras dengan instrumen
HAM nasional, misalnya UU No. 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi
CERD, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 40 Tahun
2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No.
11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya, UU No. 12
Tahun 2005 tentang Hak Sipil Politik, dan utamanya Pasal 28 D
ayat 1 Konstitusi Republik Indonesia, bukan malah sebaliknya.
Putusan-putusan pengadilan atas perkara ini justru membawa
pesan sikap rasial seolah-olah wajar dan rasional.
Narasumber terpercaya menyampaikan sikapnya atas situasi
minimnya dukungan terhadap perjuangan GRANAD; H. Budi
Setyagraha, dan Handoko. “Respon teman-teman tentu saja
ada yang mendukung dan ada yang tidak, yang mendukung
pun ada yang terang-terangan dan ada yang di balik layar, yang
tidak mendukung biasanya karena takut akibatnya malah bisa
menghabisi mereka. Golongan ini biasanya tidak tahu tentang
hak yang dia miliki, tetapi keegoisan membuat mereka menolak
sebuah perjuangan kebenaran.”, ujar narasumber itu.
Saat dikonfirmasi kelompok mana saja yang disebut tidak
tahu hak dan kelompok mana yang egois, ia pun menerangkan:
“Mereka yang rentan ini khan karena belum tahu haknya, kalau
yang egois itu sebenarnya karena dekat dengan penguasa yang
bisa meniadakan diskriminasi buat mereka.”
Situasi ini cukup bisa dibilang unik, korban diskriminasi
mendukung diskriminasi terhadapnya. “Tanpa mengerucut ke
pihak tertentu, secara natural sekelompok orang yang menikmati
‘kemakmuran bersama’ ini akan merasa terganggu apabila ada
pihak yang mengganggu anggota kelompok tersebut karena
menikmati kemakmuran itu tidak memandang SARA…Terus
Hak Asasi Manusia dan Agraria 203