Page 217 - Mozaik Rupa Agraria
P. 217
untuk memelihara praktik ini ada keuntungan secara ekonomi,
dan pihak-pihak yang terkait dengan pertanahan di situ ada
oknum-oknumnya” , imbuhnya.
Willie Sebastian seorang pengusaha kecil menengah dan
Handoko seorang advokat yang juga bergelar master notaris,
keduanya menyatakan tidak tergantung dengan penguasa dalam
merintis dan menjalani karirnya masing-masing. Keduanya tidak
terpengaruh oleh ancaman maupun intimidasi.
“Jiwa nasionalis dan cinta tanah tumpah darah saya, serta
ketauladanan para pemimpin bangsa yang berani berjuang
melawan penajajah, juga pendidikan Bushido Karate yang
menginspirasi saya untuk berani melawan ketidakadilan terhadap
warga Tionghoa”, ujarnya saat Willie Sebastian ditanya apa
motivasinya berjuang melalui GRANAD. Pengagum Gus Dur dan
Buya Syafi’i Ma’arif ini membenarkan bahwa perjuangannya tidak
didukung oleh mereka yang dekat dengan penguasa.
Setali tiga uang dengan Willie Sebastian, ketika Handoko
dikonfirmasi apakah ia sadar dengan yang ia lakukan?
“(Saya) sadar karena tidak benar, sudah bawaan dan
pengalaman. Contohnya dari SMP yang nggak mau disuruh-suruh
preman kelas saya.” Handoko mengalami hidup di Yogyakarta,
menurutnya budaya dan tingkat intoleransi lebih kentara
dibanding dengan saat ia hidup di kota lain. Ia mencontohkan di
jalan raya ia diteriaki bernada rasis jika mau serempetan, dikatai
rasis saat sekolah, dibedakan dalam masyarakat, karena ras. Hal-
hal tersebut tidak ia temui di kota lain, “…mereka memaki pun
tanpa embel-embel rasis,” begitu pengakuannya.
Handoko mengungkapkan, “Sejauh pengalaman saya, banyak
yang tidak mendukung ataupun tidak peduli. Alasan takut
kerusuhan, takut melawan penguasa, merasa tidak penting dan
204 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang