Page 212 - Mozaik Rupa Agraria
P. 212
Keistimewaan DIY, kewenangan tentang tanah melekat pada
Kepala Daerah DIY, oleh karena itu hukum adat DIY berlaku sejak
HB II hingga sekarang (hal 15).
Dikalahkan pada Uji Materi, Handoko kembali menggugat
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara pada tanggal 18 Mei 2016.
Melalui Putusan No 179K/TUN/2017, hakim menyatakan Instruksi
Kepala Daerah DIY 1975 bukan keputusan tata usaha negara
(KTUN)/Keputusan Administrasi Pemerintahan yang bisa diuji di
PTUN.
Kini upaya Handoko menjelaskan duduk perkara, berdasarkan
kedua putusan pengadilan terbukti secara sah Instruksi Kepala
Daerah DIY 1975 bukan perundang-undangan, dan bukan
diskresi atau keputusan hukum. Instruksi Kepala Daerah DIY
1975 tidak punya kekuatan hukum mengikat sama sekali, namun
dipertahankan oleh Gubernur DIY dan dipraktikan oleh BPN.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Handoko. Ia kembali
mengajukan gugatan perdata, kali ini sasarannya Gubernur DIY
dan Kepala Kantor Wilayah BPN DIY. Handoko kembali dirundung
nasib buntung. Hakim mengamini Surat Instruksi Kepala Daerah
1975 dibuat untuk melindungi kaum jelata yang lemah dari kaum
pemodal yang kuat, serta tidak bertentangan dengan hukum tidak
tertulis Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Benarkah rakyat yang diasumsikan pribumi lemah dilindungi
dari kerakusan yang kuat? Peristiwa terkait pertanahan di DIY
menunjukkan fakta sebaliknya.
Pada 2015 lalu, sengketa antara pengusaha etnis Tionghoa
pemegang serat kekancingan (surat pinjam pakai tanah Sultanaat
Grond yang dikeluarkan oleh Panitikismo atau Badan Pertanahan
Kasultanan Yogyakarta) yang diakui versus lima orang PKL
Godomanan pemegang serat kekancingan yang dibatalkan, nyata-
Hak Asasi Manusia dan Agraria 199