Page 227 - Mozaik Rupa Agraria
P. 227

Karena ingin tahu tempat ibunya dahulu, Sidat pun memantapkan
           hatinya untuk menempuh perjalanan ke sana.
               Setelah diombang-ambing gelombang pantai, menyeberang-
           lah Sidat ke muara Sungai Opak. Ternyata aliran sungai itu ingin
           membawanya kembali  ke samudera. Namun,  Sidat  tahu bahwa
           jika ia ingin  sampai ke  tujuannya, ia harus memberanikan diri
           melawan arus itu.

               Berenanglah Sidat ke  arah hulu. Setelah  sekian lama
           menempuh  perjalanan,  sampailah  Sidat  di sebuah  bendungan.
           Namun, yang dilihat Sidat adalah tembok air yang sangat tinggi.
           Air  begitu deras  mengalir dari atas  sana dan  berdebur dengan
           keras di bawah. Sidat mencoba berenang naik, tetapi usahanya
           selalu gagal. Ia merasa kalut karena impiannya untuk sampai ke
           hulu tak bisa ia raih.
               Ia pun memutuskan untuk beristirahat di tepian. Diamatinya
           tempat itu. Ada beberapa ikan yang sibuk dengan urusan masing-
           masing. Namun, alangkah banyaknya ubur-ubur itu. Binatang ini
           ada di mana-mana. Herannya, saat sidat menyapa, tak ada satu
           pun yang menyahut.
               Tiba-tiba terdengar suatu keributan. Ada suara batuk-batuk
           yang ditimpali nada penuh kekhawatiran. Ternyata dari balik akar
           kalanjana, muncullah Sapu-Sapu dan Remis, seekor kerang.

               “Ada yang bisa saya bantu?” Tanya Sidat.
               “Mbah Sapu ini sudah lama sakit. Tak sembuh-sembuh juga,”
           jawab Remis dengan perlahan dan agak malu-malu.

               “Anak ini pasti baru datang dari samudera, ya?” Tanya Mbah
           Sapu-Sapu.
               “Bagaimana Simbah tahu?”





           214    Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
   222   223   224   225   226   227   228   229   230   231   232