Page 229 - Mozaik Rupa Agraria
P. 229
Sapu-Sapu membesarkan hati Sidat dan mengatakan bahwa
bangsa sidat adalah pemanjat ulung. Jika ia mau mencoba, mungkin
ia bisa sampai ke atas. Merasa percaya diri, Sidat pun mencoba lagi.
Setelah beberapa kali gagal, akhirnya Sidat bisa sampai ke atas.
Teman-temannya bersorak gembira. Setelah berpamitan, Sidat pun
berenang ke hulu untuk mencari Sendang Suracala.
Kebanyakan hewan yang ia tanyai menggelengkan kepala.
Namun, pada akhirnya ia bertemu ikan gabus yang dapat
menunjukkan arah.
Ditunggunya hingga hujan tiba. Kemudian direnanginya
parit-parit kecil itu. Didakinya bebatuan kapur di perbukitan itu.
Perjalanan itu seakan tak ada habisnya.
Saat ia hampir menyerah, ternyata sampailah Sidat ke sendang
itu. Betapa gembira hatinya. Segera ia hempaskan dirinya ke kolam
itu dan berenang sepuasnya. Dicarinya tanda-tanda keberadaan
Nyai Pelus. Ternyata tak ada siapa-siapa.
“Anak ini persis sekali dengan Nyai Pelus. Apa yang kau cari
di sini?” Terdengar suara dari arah randu alas. Ternyata di sana
duduk seekor katak.
“Saya mencari Nyai Pelus, Ki!” jawab Sidat.
Katak itu bercerita bahwa memang Nyai Pelus bertapa
dan menjaga sendang ini. Namun, pada suatu ketika Nyai Pelus
memperoleh panggilan dari dalam dirinya untuk kembali ke samudera.
Dari samudera ia berasal dan menuju samudera pula ia pergi untuk
melahirkan anak-anaknya dan menghabiskan sisa hidupnya.
“Anak ini persis sekali dengan Nyai Pelus. Mungkin kamu
adalah anaknya.”
“Tapi, Ki. Ibu saya menjaga sungai di bawah pohon gayam
agak ke hulu.”
216 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang