Page 228 - Mozaik Rupa Agraria
P. 228
“Tentu tahu. Sudah lama aku tinggal di sini. Di antara hewan-
hewan sini hanya jenismu yang lahir jauh di samudera sana tetapi
kalau besar sukanya tinggal di sini,” jelas Mbah Sapu-Sapu.
“Tapi di kampung saya dulu juga ada ubur-ubur seperti itu,”
ujar Sidat sembari menunjuk pada apa yang dikiranya adalah
ubur-ubur.
“Hahaha! Itu bukan ubur-ubur, Nak. Bahkan sama sekali
bukan hewan jenis apa pun. Namanya plastik dan benda ini bikin
banyak hewan sakit. Yang kecil-kecil itu suka masuk insangku dan
bikin susah bernafas. Ohok-ohok!” kata Mbah Sapu-Sapu sambil
terbatuk.
Sidat mendengarkan penjelasan sambil mengangguk-angguk.
“Sebetulnya saya ingin berenang ke hulu. Saya ingin melihat
tempat ibu saya dahulu. Tapi saya tak bisa berenang naik ke sana,”
kata Sidat dengan sedih.
Sapu-Sapu menjelaskan bahwa pada zaman dahulu sidat dan
hewan lain bisa berenang ke hulu dengan mudah. Itulah mengapa
sidat dapat ditemukan hingga sungai-sungai di pegunungan tinggi.
Namun, semenjak adanya tembok ini, kebanyakan hewan tak
bisa lagi melakukannya. Mendengar penjelasan itu, Sidat merasa
berkecil hati. Kandas sudah harapannya. Ia pun memutuskan
untuk tinggal di situ.
Selama beberapa tahun Sidat tinggal di sana. Diamatinya
air semakin kotor dan ubur-ubur gadungan bernama plastik itu
semakin banyak saja. Hewan-hewan banyak yang sakit dan mati.
Ia menceritakan kegelisahannya kepada temannya Sapu-Sapu dan
Remis. Sapu-Sapu berkata di bagian hulu ada seorang pertapa
bernama Nyai Pelus di Sendang Suracala. Ia mengerti banyak hal.
Barangkali jika suatu ketika Sidat berhasil naik bendungan itu, ia
dapat mencari beliau dan meminta nasihatnya.
Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 215