Page 230 - Mozaik Rupa Agraria
P. 230
“Betul. Beliau dahulu tinggal di sana. Tapi semenjak sungai
penuh dengan sampah, ia merasa tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Ia pun pergi ke sini untuk bertapa.”
Sidat tercenung mendengarkan penjelasan itu. Memang ia
kecewa karena perjalanannya yang jauh tak membuahkan apa-
apa. Namun, ia juga merasa lega dan haru karena menemukan
jejak ibunya di sini.
Setelah beristirahat secukupnya, Sidat berpamitan untuk
melanjutkan langkah. Jalan menurun lebih mudah ditempuh.
Begitu sampai sungai, ia segera berenang ke arah hulu.
Benar adanya. Tempat itu tak seperti yang ia bayangkan.
Sampah dan limbah terus mengalir dari hulu. Perairan begitu
kotor. Tak ada hewan-hewan yang nyaman tinggal di sana. Di
antara akar-akar gayam itu ia menangis tersedu. Bagaimana cara
memulihkan tempat sekotor ini?
Namun, dalam kesedihannya itu, Sidat tiba-tiba teringat akan
kawannya Remis. Walaupun pendiam dan pemalu, ia memiliki
kesaktian yang istimewa. Air kotor yang masuk ke dalam tubuhnya
selalu keluar sebagai air bersih. Teringat itu, Sidat pun terbit
harapannya. Dengan semangat, ia berenang kembali ke arah hilir.
Sayangnya, sesampainya Sidat ke rumah temannya, didapatinya
temannya itu sakit dan keletihan. Sidat menyampaikan maksud
untuk meminta pertolongan Remis. Namun, Remis meminta
maaf karena tidak dapat menyanggupinya. Ia merasa hidupnya
tak lagi lama. Dititipkannya anak-anaknya kepada Sidat. Larva-
larva itu melompat ke dalam insang Sidat. Setelah berpamitan,
Sidat pun membawa mereka ke arah hulu.
Sidat merawat anak-anak Remis seperti merawat anak-
anaknya sendiri. Disiapkannya makanan dan dilarangnya mereka
makan makanan yang membahayakan.
Agraria Perairan, Pesisir dan Perdesaan 217