Page 460 - Mozaik Rupa Agraria
P. 460
kerajaan,” politisi menepuk-nepuk bahu sejarawan, yang ditepuk
mengangguk-angguk mengiyakan, “sementara itu, aku akan
dorong model-model penyelesaian konflik yang elitis, maksudku
yang tidak mengandalkan kekuatan massa, yang mengharapkan
kebaikan dan kehadiran orang-orang sepertiku, semacam lobi-
lobi yang mengandalkan peran negara. Perjuangan di luar hukum
dan parlementer kubikin semakin sulit dilakukan. Cuma itu
caranya memperpendek nafas perjuangan mereka.”
“Pas. Aku setuju. Ketika mereka beramai-ramai membuka
tambak, pelan-pelan mereka meninggalkan pertanian. Bertanam
adalah Berlawan hanya tinggal jargon,” kata antropolog itu.
“Ah, memoar kacangan saja kau perhitungkan. Biarkan saja,
penulisnya berkaca di cermin buram. Terlalu bangga dengan diri
sendiri. Bukankah itu justru menguntungkan?” Si pakar hukum
sekaligus lingkungan menimpali.
“Baik, kapan kita mulai? Waktu kita tak banyak. Kalau bisa
memang seiring pembangunan bandara internasional itu, agar
mereka tak sempat koalisi. Tapi, bagaimana mengantisipasi
kesadaran kelas? Kukira itu harus diperhitungkan. Antropolog
ada ide?” Si pakar ekonomi mendesak.
“Ide? Sementara ini, ya... Kita manfaatkan saja jargon
mereka. Kita kampanyekan memoar itu, kita ceritakan sebagai
kisah kemenangan. Lebih bagus kalau difilmkan, film yang
memukau dan melenakan, macam Samin vs Semen. Aku paling
suka bagian ketika manusia kapur itu bilang ‘Silakan bikin pabrik
semen di Papua yang masih luas wilayahnya, jangan di sini…’. Itu
memindahkan masalah ke tempat lain, bukan menyelesaikannya.
Jadi, semakin mereka merasa bangga dan tak tahan kritikan,
maka itu akan semakin menguntungkan. Bagiku akan sangat baik
jika hasil penelitian atau narasi perjuangan membeku di ruang
Gerakan dan Perjuangan Agraria 447