Page 455 - Mozaik Rupa Agraria
P. 455
pengamat bukan pelaku. Lihatlah, warna kesuburan ini, itu bukti
kami tak butuh tambang. Bahkan saya sedang menulis otobiografi
perjuangan, karena sesungguhnya bertanam adalah berlawan.”
Kata Sang Pencerita, yang tak mau disebutkan namanya, pada
kupingku yang berperan jadi jurnalis media ternama.
“Kami ini ibarat pelita. Harapan di dalam kegelapan. Dian
yang menolak dipadamkan!” Tegas Cuklak, pemuda pegiat
ketoprak di kampung itu.
Semua terdengar nyaring di sini, lebih bening dari lengking
seruling.
Catatan-catatan tangan-tanganku juga kuperiksa kembali.
Barangkali, aku melewatkan banyak hal. Trend impor pangan,
trend harga pangan, siklus produksi pertanian, neraca simpan
pinjam skala regional, laju pengembalian modal bisnis
hortikultura di tempat manusia-manusia pasir itu berada, dan tak
lupa daya kapital mereka. Catatan-catatan itu tak terlewat, lebih
detil dari laporan penelitian para sarjana tentang manusia pasir
dan kehidupannya.
Ya, polanya mulai terbaca. Kapan mereka menanam, kapan
mereka panen, komoditas apa saja, apa kendala-kendala budidaya,
fluktuasi harga, ketimpangan penguasaan lahan, benih-benih
sengketa, dan hubungan gelap antara elit mereka dengan
penguasa. Kurasa, lawan-lawanku luput meliput hal-hal sederhana
ini, barangkali jauh dari minat si pengamat. Sepertinya aku harus
menggelar pertemuan para dewa. Tidak hanya Padang Ilalang dan
Pembunuh Gratisan yang mampu membangun aliansi, akupun
bisa membuat koalisi dan kolaborasi. Biarlah pendukung mereka
memuja manusia-manusia pasir itu selagi tangan-tanganku tekun
bekerja.
442 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang