Page 456 - Mozaik Rupa Agraria
P. 456
Tanganku melukis sejarah berdarah, dan dunia adalah
kanvasnya.
Hasratku keserakahan tak kenal kenyang, tubuhku tumbuh
dari berjuta tumbal.
“Apa yang sudah dilakukan dan apa rencana kita untuk
selamatkan hasrat Baginda? Sejauh ini aku menciptakan pro
dan kontra, mereka sudah terkepung para pendukung tambang.
Bahkan, mereka sudah mulai bersengketa hanya karena perbedaan
cara melangkah.” Antropolog itu memulai diskusi.
“Aku sudah mengubah catatan sejarah, tafsirku telah menjadi
kesadaran massa, siapa pun akan yakin wilayah ini memang milik
Baginda. Seniman Gadungan itu, meski ia benar, siapa yang akan
percaya?” Sejarawan itu menyahut.
“Proses legal sudah kutempuh, berjalan mulus tanpa
hambatan, dari kontrak karya hingga AMDAL.” Si pakar hukum
sekaligus lingkungan itu tak mau kalah.
“Aku tahu pola produksi dan konsumi, ketimpangan
penguasaan lahan, dan potensi konflik di antara mereka.
Bagaimana denganmu? Apa kerjamu selama jadi wakilnya rakyat?”
Aku bertanya pada politisi di sampingku.
“Aku? Kalian kira aku tak kerja, lihat… Baginda sudah punya
alat hukum untuk memenuhi hasratnya. Sebuah undang-undang
yang istimewa. Aku tinggal mengesahkan aturan pelaksanaan,”
jawabnya.
“Laporan yang kuterima darimu menunjukkan bahwa mereka
rentan pada impor, rentan kenaikan harga sarana produksi, dan
biaya konsumsinya tinggi. Benar itu fakta lapangannya? Apa kau
sudah menghitung kekuatan pasar lelang mereka, Komandan?”
Ekonom itu bertanya padaku, yang lain menanti jawaban.
Gerakan dan Perjuangan Agraria 443