Page 457 - Mozaik Rupa Agraria
P. 457
“Ya, itu faktanya. Kekuatan mereka sudah kuperhitungkan.
Kita hanya perlu menemukan cara agar mereka mati pelan-pelan
dengan nyaman,” jawabku.
“Sebentar, kalau begitu, manusia-manusia pasir itu bagian
dari rantai komoditas dari perusahaan-perusahaan. Kenaikan
harga BBM saja mengancam mereka gagal panen, apalagi kenaikan
harga benih, pupuk, dan pestisida. Begitu?” Pakar ekonomi itu
meminta keteranganku.
“Persis! Sebab alasan mereka menolak kehendak Baginda
ialah agar tetap bertani, dan itu artinya motivasi ekonomi. Terlalu
jauh untuk dikatakan kesadaran kelas. Mereka juga belum keluar
dari jerat-jerat hutang perbankan, padahal hasil dari panen
ratusan juta rupiah. Itu artinya…”
“Konsumtif! Ya, biaya konsumsi mereka tinggi. Mereka belum
punya alat pembiayaan yang mandiri. Kukira itu membentuk
mental dagang, mereka akan mengejar laba yang lebih tinggi,
pertanda belum bebas dari watak akumulasi. Baik, sementara ini
dulu, silakan dilanjutkan.” Pakar ekonomi itu hanya menegaskan
pembacaanku.
“Konflik sudah memuncak pascapenangkapan Tukiyo Si
Biang Keonaran, mereka tampak surut meski tahun lalu sempat
bergerak diam-diam. Saat ini grafik konflik mereka sedang
menurun, ini saat tepat untuk masuk, mumpung mereka merasa
kuat dalam kerapuhan yang nyata.” Politisi itu menyarankan.
“Maaf kupotong lagi, sebelum jauh ke sana. Apakah program
nasional juga sudah diperhitungkan? Ke depan kita tak bisa lepas
dari Rencana Komprehensif Pembangunan Asia.” Pakar ekonomi
itu mencoba memeriksa gagasan.
“Itu sudah, wilayah itu dirancang jadi kawasan ekonomi
khusus, gerbang pariwisata, dan jalan lintas selatan. Desa di
444 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang