Page 461 - Mozaik Rupa Agraria
P. 461
diskusi. Pengungkapan yang rumit dan konseptual itu diperlukan,
agar ketimpangan tersamar.” Antropolog itu berbagi gagasan.
“Itu bisa diatur, tapi kita kan tak bekerja tanpa imbalan? Kita
ini ‘konsultan’, plesetan-nya orang Jogja: Kongkonane Sultan, kita
bukan abdi dalem, pesuruh, atau pekerja gratisan. Kita bekerja
professional. Nanti kita bicarakan dengan Baginda, setelah
hitung-hitungan untung di antara kita sudah kita disepakati,”
kataku menutup pembicaraan.
Oh senjakala, apa pesanmu di rembang usia?
Enam bulan semenjak pertemuan para dewa, tanah-tanah di
unduk gurun mulai disewakan, sebagian ditanggungkan untuk
modal. Lahan-lahan hijau mulai berganti kolam-kolam payau.
Tambak-tambak udang bertumbuhan seperti cendawan di musim
hujan. Proyek padat karya yang saling meniadakan. Bagaimana
tidak? Tanaman mereka haus air tawar, udang mereka doyan air
garam. Dapatkah keduanya bersandingan? Manusia-manusia
pasir itu akan sibuk bertarung satu sama lain, yang satu ingin
tetap bertani sedangkan yang lain ingin menambah penghasilan
dengan tambak udang. Mereka akan larut dalam perpecahan,
hingga rantai pengikat dengan manusia-manusia sejenisnya akan
putus dengan sendirinya. Perhitunganku, apabila moda produksi
transisi itu berlangsung dengan laju yang kontinu, maka dalam
lima tahun seluruh padang pangan ini akan kembali menggurun.
Lalu, skema pasar akan memaksa mereka gulung tikar. Dian-
dian itu di ambang padam. Legenda manusia pasir akan berakhir,
menyisakan kisah manusia-manusia pandir.
Hari ini dia dibebaskan. Tukiyo, Si Biang Keonaran.
Tiga tahun kurungan dia jalani tanpa mengemis grasi.
Kebebasannya dinanti-nanti, dirayakan para pilar pangan,
disambut pekik: “Panjang umur perlawanan!”, di titik-titik konflik.
448 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang