Page 454 - Mozaik Rupa Agraria
P. 454
dari intaian lawan. Aku siap menghadapi lawan-lawanku yang
serupa hantu, karena aku gaib dan menghantui layaknya hantu.
Kini aku butuh pengetahuan baru, aku mungkin meluputkan
satu cara: pembunuhan massal yang manusiawi.
Jurnal-jurnal bertopik ekonomi politik tentang perubahan
bentang alam kukumpulkan, kupelajari dengan mendalam.
Dari karya Iwa Koesoema Soemantri hingga Tania Li; dari Lenin
hingga Bernstein. Pada akhirnya, hanya kutemukan mitos tentang
petani kecil, petani yang bekerja hanya untuk sekedar hidup,
petani yang lepas dari sentuhan produk industri, petani yang tak
memburu laba, petani yang berhasil menahan hasrat konsumsi.
Aku tak tertipu oleh cerita seksi kaum penggila eksistensi tentang
kemiskinan dan perebutan kekuasaan. Aku pilih mencicipi
kenyataan, bahwa masakan yang sedap selalu banyak bumbu, dan
bumbu mengaburkan rasa asli.
Manusia-manusia pasir, apa yang sesungguhnya mereka
pikir?
Apa yang pernah didengar kuping-kupingku, kudengar ulang:
“Bayangkan saja, kami ini sudah makmur dengan bertani,
kami bisa bangun rumah, sekolahkan anak, punya banyak
ternak, beli kendaraan. Apa itu mau dirampas begitu saja dengan
tambang?” Sukarmin berujar, menjelaskan pada kupingku yang
berwujud mahasiswa.
“Selama cabai itu tumbuh di sini, perlawanan kami tak akan
berhenti. Bertani atau Mati! Itu prinsip kami.” Isyanto tak kalah
lantang, di hadapan kupingku yang berprofesi sebagai pengajar
dan peneliti.
“Semua sudah kami lakukan, tak ada yang kurang. Persetan
kata orang, yang penting kami masih panen. Mereka cuma
Gerakan dan Perjuangan Agraria 441