Page 451 - Mozaik Rupa Agraria
P. 451
kedudukannya sebagai pejabat negara. Entah bagaimana, keparat
itu mendapatkannya, lalu mempublikasikan surat itu di berbagai
kesempatan. Komisi Hak Asasi sudah memberi peringatan dua
kali pada Baginda untuk mencabut aturan yang tak relevan itu.
Para punggawanya sudah menghimbau, tapi Baginda bilang,
“Biarkan saja, Cina-cina itu nanti lupa sendiri.” Baginda tak
membenci Tionghoa, kerajaan bisnisnya dikelola oleh mereka.
Merekalah yang rajin mengirim upeti, memberinya kesenangan
di Macau, Las Vegas, atau lapangan golf. Aku tahu ini rasisme di
era demokrasi, tetapi di sini wibawa seorang raja adalah segala-
galanya.
Dosa kedua, Baginda telah merampas wilayah negara.
Keparat itu mampu memancing Baginda untuk sesumbar:
“Tak ada tanah negara di wilayahku, semua tanah adalah
milikku.” Lalu, pada gilirannya, dia publikasikan aturan yang
dibikin Baginda untuk merampas semua tanah desa di seluruh
wilayahnya. Memang ada aturan di masa lalu, pada masa kerajaan,
yang menyatakan semua tanah tak bertuan adalah tanah kerajaan.
Namun aturan itu sudah resmi dicabut oleh negara, majikanku
yang lain, yang mana kepadanya aku bersumpah setia. Keparat itu
telah membuat sebagian penduduk tahu dan kemudian percaya
bahwa Baginda tak punya dasar untuk mengaku sebagai pemilik
sah seluruh tanah di wilayahnya. Persoalan ini sesungguhnya
serius, karena sudah diintai sebagai perkara disintegrasi. Aku
memilih diam, menunggu saat yang tepat untuk ambil sikap.
Dosa ketiga, Baginda telah mengambil paksa hak milik sah
warga negara.
Karena Baginda merasa memiliki seluruh tanah di
wilayahnya, maka tak segan-segan ia memerintahkan salah satu
punggawanya untuk menekan kepala badan pertanahan untuk
tidak menerbitkan hak milik atau menunda pemberian hak
438 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang