Page 446 - Mozaik Rupa Agraria
P. 446
budayawan, sekampung halaman dengan Presiden ke-5—aku
ingat Presiden RI ke-2 dijabat Mr. Asa’at, dulu dikenal menentang
pembangunan kolam yang menenggelamkan 3 kecamatan
bersama Si Burung Manyar. Ia membangun massa lewat forum
pengajian. Dinobatkan jadi idola kaum pinggiran. Tapi kini,
ia terbukti menjinakkan manusia lumpur dan manusia kapur,
membela penyebab bencana—demikian laporan sebuah jurnal
ilmiah yang kubaca. Ibarat prahara dunia sastra, membandingkan
GJA dan Pemuka Agama itu sama seperti membandingkan
Pramoedya dan Martin Aleida, siapa pun tahu perbedaannya.
Bisikan pasir-pasir ditangkap angin, dibawa ke seberang
lautan, lalu menuai dukungan di segala penjuru benua. Mereka
merasa senasib dengan manusia-manusia pasir. Protes digelar
di Perth, London, Ithaca, Chicago, Nairobi, Paris, Adelaide,
Frankfurt, Amsterdam, Praha, Beijing, Penang, dan Manila. Jakarta
tak kuhitung, kota itu tak penting karena isu apa pun mudah
menguap. Tapi bagaimana manusia-manusia pasir itu mampu
menembus jagad maya, bukankah mereka cuma petani biasa?
Apakah ini ulah perusahaan telekomunikasi ternama, Connecting
People? Ah, sulit dibuktikan, kurasa perusahaan itu hanya
dimanfaatkan teknologinya. Bagaimana aku bisa menghentikan
angin pembawa berita?
Rabindranath Tagore telah lama berujar, “Cecabang dan
dedahan adalah akar-akar yang menjulang ke atas.” Aku tak
boleh tertipu oleh penampakan luar, yang menjulang tinggi
sesungguhnya bukan yang sejati. Akar selalu saja di dasar, maka
aku harus menggali lebih dalam. Satu tanganku akan kuubah
serupa lawan.
Muda, doyan ganja, minimal pernah gandrung Nirvana atau
The Clash. Tindik, tato, dan rambut gimbal sudah syarat utama.
Seolah rajah “tak terjinakkan” tertera di setiap inci tubuhnya.
Gerakan dan Perjuangan Agraria 433