Page 448 - Mozaik Rupa Agraria
P. 448
“Aku memberontak, maka aku ada!” Dia berteriak lantang di
mana-mana. Muda, radikal, dan melawan. Siapa lawanku yang
tak tergoda?
Sebagai pembuka, ujung Sulawesi diguncang ledakan. Di susul
Kota Kembang, lalu Kota Pahlawan. Ketiganya menggemparkan
media massa, tapi kubiarkan isunya dimangsa polisi pengejar
setoran. Sialan, ikan-ikan belum lengkap berkerumun merayakan
kemenangan. Hingga suatu hari, menjelang pagi, sebuah
perangkat transaksi uang meledak dihantam api, di kota ini. Ya!
Bagus. Setidaknya itu mempermudah pengamatan selanjutnya.
Tak ada perbuatan tanpa jejak, dan tak ada jejak yang tak
terlacak. Berbagai barang bukti tertinggal di lokasi, mungkin
tanganku sengaja meninggalkannya untuk ditelusuri. Kartu jati
diri, surat testimoni, propaganda solidaritas, saksi mata, sidik jari,
rekaman CCTV. Lengkap sudah. Dia memang benar-benar bisa
diandalkan.
Tiba-tiba permainan senyap, inderaku tak menangkap apa-
apa. Ada apakah ini? Aku paling benci dengan kesunyian, kesunyian
itu hampa, tanpa pengetahuan, tanpa kuasa. Semua inderaku
kuhubungi, dan memang yang terdengar dan yang terlihat ialah
tak ada apa-apa. Waktu! Ya, waktu yang akan memberitahu,
sebab waktu membawa serta perubahan. Waktulah yang akan
menjadi sekutuku. Sementara itu, proses-proses penguasaan
lahan dan membangun pembenaran melalui rezim hukum terus
berjalan. Apa pun yang dikehendaki majikanku harus dijalankan,
kehendaknya adalah hukum yang harus dipatuhi.
Tiba-tiba sesuatu terjadi. Baru kali ini inderaku buta, tuli, dan
kehilangan kepekaannya dalam meraba. Dalam dua tahun ada
dua perhelatan dibikin oleh manusia-manusia pasir. Perhelatan
yang cukup penting dan berbahaya. Ini adalah bom dahsyat yang
meledak tanpa suara. Semua terjadi tanpa gegap gempita. Siapa
Gerakan dan Perjuangan Agraria 435