Page 445 - Mozaik Rupa Agraria
P. 445
Ikan yang lugu, begitu mudah dipancing keributan. Dia
boleh saja tak bersalah, tapi tetap harus ditangkap. Para siluman
mengambilnya dengan bujukan, tepat tengah hari ketika ia
bekerja di ladang. Meninggalkan isterinya yang meraung-raung
kebingungan. Satu hari, satu minggu, satu bulan, sidang tak
segera digelar, ia menginap di ruang tahanan.
“Bebaskan Tukiyo, bebaskan Tukiyo!” Massa berarak, berteriak
sampai serak. Menuntut pembebasan. Omong kosong! Bahkan,
jika perlu ia ditahan selamanya.
Tukiyo Si Biang Keonaran. Begitu bunyi berkas-berkasku
tentangnya. Setiap orang tertipu oleh penampilannya yang tolol
dan sederhana, kecuali aku. Dia hanya perlu bertapa 3-5 tahun di
Kampus Biru agar kesaktiannya berada setingkat di bawahku. Aku
dan dia hanya terpaut waktu dan biaya. Selebihnya sama saja.
Surat-surat keramat beredar di jagad maya. Anjing! Biang
Keonaran itu menulis dari balik jeruji besi. Bagaimana bisa?
Apa di penjara ada pelajaran tulis baca? Surat-surat keramat
diselundupkan keluar, entah oleh sang isteri, anak, atau penjenguk
lainnya. Dia mulai berlagak seperti Tan Malaka, Antonio Gramsci,
setidaknya Pramodeya Ananta Toer yang ulung bertutur. Bangsat!
George Junus Aditjondro (GJA), biang keonaran yang sama,
menjenguknya pula, kabarnya menjanjikan sebuah tulisan
tentang kisah kaumnya. Siapa pun tahu, satu gagasannya adalah
topan yang meluluh lantakkan satu rezim kekuasaan. Lawanku
bertambah satu, kelas berat yang susah tumbang. Intelektual
yang disegani karena konsistensi, jenis yang semakin langka.
Setidaknya, catatan tentang GJA si tua tambun itu akan kutambah
dan kisahnya akan dimulai lagi, melengkapi yang sudah-sudah.
Banyak yang dengki padanya, mencurigainya sebagai agen ganda,
tapi enggan mencari bukti. Aku cukup peka, cukuplah kuasa
modal penguji keberpihakan. Seorang Pemuka Agama merangkap
432 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang