Page 442 - Mozaik Rupa Agraria
P. 442
beralih tahun, padang cabai, kacang, pare, melon, semangka
menutup gurun. Sumur renteng di ladang berganti pompa dan
selang. Revolusi irigasi. Lalu, sekitar tahun 2000-an, mereka
mempelajari watak pasar. Mereka tahu pengepul menimbun
laba yang terkumpul. Manusia-manusia pasir mulai berpikir,
bagaimana caranya kaum tani turut tentukan nilai laba, sebab
mereka menguasai produksi? Mereka membangun posisi tawar
melalui sebuah pasar lelang.
Laba membanjir lebih deras dari air. Pasir-pasir menyerap
keuntungan secepat menghisap hujan. Gubuk bambu berganti
gedung batu. Satu demi satu setiap keluarga mampu membiakan
pemamah biak. Mulai banyak yang mengimpor kuda-kuda
tunggangan dari Negeri Sakura: Toyota; Honda; Suzuki; Kawasaki;
Mitsubishi. Pertanda derita berangsur pergi.
Salah satu kupingku samar mendengar. Di luar pagar, peta
dunia sedang digambar ulang. Percaturan ekonomi dikaji kembali.
Agar tak ada istilah: Seekor ikan mati tenggelam. Salah satu
mataku membaca gerak zaman, bahwa gelombang efisiensi akan
menghantam tempatku tinggal, termasuk pula perkampungan
manusia pasir. Gelombang percepatan perluasan pembangunan
ekonomi. Menyapu apa pun yang menolak ditundukkan. Aku
adalah peselancar yang menggilai tsunami, tak ada alasan bagiku
untuk menentang arus zaman. Tapi ikan-ikan itu, bukankah hanya
ikan mampus yang ikut arus? Ikan hidup ditakdirkan berenang
melawan arus, untuk menghirup oksigen terlarut. Persetan, sebab
aku bukanlah ikan.
Sepuluh tahun lalu, tahun 2006, istana Baginda diguncang
gempa. Meruntuhkan Timbangan Emas, satu bagian penting dari
bangunan kekuasaan yang sudah berabad-abad bertahan, yang
dipercaya sebagai simbol keadilan. Gempa memporak-porandakan
wilayah kekuasaannya, menggoyahkan sendi-sendi ekonomi, dan
Gerakan dan Perjuangan Agraria 429