Page 439 - Mozaik Rupa Agraria
P. 439
Pada mulanya adalah hasrat, adalah niat. Niat yang tak selalu
diucap, namun nyata diperbuat. Maka katakanlah padaku, siapa
yang dapat menjalani hidup tanpa niat?
Manusia-manusia pasir itu telah mendiami kampungnya
sejak zaman Jepang, bahkan jauh sebelumnya. Semula semua
hanya unduk gurun—sebutan mereka untuk gumuk pasir (sand
dune) yang menggurun, membentang sejauh mata memandang.
Gurun itu menyimpan sihir. Penampakannya tak pernah sama
setiap kali satu hari berakhir. Hembusan angin membuat unduk
gurun ini selalu berganti, berpindah dari satu tempat ke tempat
lain, dan dalam semalam bukit dan ngarai baru pun lahir. Angin
dari balik samudera tanpa bosan membisikkan cerita tentang
pergantian zaman dari masa-masa yang jauh pada butir-butir pasir
ini, sedemikian memukaunya cerita itu, hingga pasir-pasir ini pun
enggan berdiam dan termenung seperti gunung, pasir-pasir ini
saling berbisik; membisikkan kisahnya yang segera dibawa angin
ke segala penjuru bumi sebelum malam berganti pagi.
Kisah yang aku tuturkan hanyalah sedikit dari yang tertinggal
pada rimbun semak widuri (Calotropis gigantean), tandan pandan
(Pandanus tectorius), dan kaktus berbuah merah (Opuntia ovata),
juga pada jerit kabak (Caprimulgus affinis), burung malam serupa
elang yang menghuni gurun ini lebih dulu dari siapa pun. Kisahku
tentang zaman ketika manusia mulai mencampuri urusan alam
kemudian melahirkan sesuatu yang belum pernah ada: peradaban.
Peradaban yang sesungguhnya tak pernah berdiri sendiri, pula
bukan semata-mata hasil budidaya makhluk adidaya, tetapi
sesuatu yang menari-nari di antara proses dan hasil, tanda dan
makna; materi dan imaji, tindakan dan perenungan.
Sesuai wataknya, unduk gurun ini tidak terduga. Peradaban
unduk gurun tidak dapat disederhanakan. Ia bukan peradaban
pegunungan yang nyaris tak tersentuh teknologi, yang sepi
426 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang