Page 444 - Mozaik Rupa Agraria
P. 444
Aku berkuasa, namun kekuasaanku masih ada batasnya.
Langkahku lebih jauh menjelajah. Mataku membeliak
di mana-mana. Kupingku dipasangi radar yang paling peka.
Hanya demi untuk mengetahui, sebab mengetahui adalah
pangkal menguasai. Kehendak si raja berjari Midas tak semudah
rencananya. Manusia-manusia pasir menolak diusir. Mereka
mempertahankan gurun yang kini jadi sumber penghidupan.
Bertani atau Mati!
Penolakan di mana-mana. Penyusupan ke gurun selalu
gagal karena dihadang massa. Mereka menuai simpati, kaki
tangan Baginda ketakutan membicarakan perlawanan. Dalam
kultur feodal, perlawanan adalah tabu. Kupingku mendengar
lalu menyimak, mataku melihat lalu mengamati. Ada satu nama
penting dan berbahaya. Tanganku segera mencatatnya, rekam
jejak sosialnya dilacak, wataknya didalami.
Dia dididik kaum bertradisi kiri yang live in di desanya, meski
ia tak pernah tahu apa kiri itu. Pembaca Marx? Tentu saja bukan,
ia buta aksara. Menganut komunis? Ia seorang santri, mendengar
istilah itu saja mungkin tak pernah, apalagi memahami dan
menganutnya. Penganjur revolusi? Terlalu mewah, penganjur
adalah aktivitas kelas menengah sedangkan dia kelas terbawah.
Lalu apa bahayanya? Analisisnya yang mendekati analisisku, dan
ia punya kemampuan yang tak kupunya jika aku telanjang tanpa
otoritas. Ia mampu menggerakkan banyak orang untuk beralih
pendapat dan sikap. Ia penanam gagasan, penebar pengetahuan,
dan mudah dipahami sesamanya. Orang-orang bergerak tanpa
paksaan. Di tempatnya tinggal, semula hanya dua butir manusia
pasir yang menolak diubah menjadi baja, tetapi dalam dua
tahun seluruh penduduk desa berada di belakangnya, bersuara
sama dengannya. Sebutir pasir itu telah menjadi ikan dalam
akuariumku, tinggal dijala paksa pada saatnya.
Gerakan dan Perjuangan Agraria 431