Page 447 - Mozaik Rupa Agraria
P. 447
Portofolionya menjanjikan, entah dalam kenyataan. Otodidak,
ia filsuf muda. Musisi yang tekun, sarjana matematika, dan
menjalani hidup murni sebagai perupa. Tentu saja, ia tak punya
potongan peringkat tiga lulusan terbaik akademi kepolisian. Ia
prajurit yang suka berteriak “Enggak Grak!”, untuk baris-berbaris
atau hormat senjata. Diklat dan pembekalan dijalaninya tiga
bulan dari setahun yang ditargetkan. Kemudian, ia dilepas tanpa
senjata.
Kami berbicara dengan bahasa yang tak dipahami warga
biasa. Aku hanya perlu rajin menyimak rekaman video
permainan instrumental yang ia mainkan dan ditayangkannya
melalui Youtube setiap minggu. Kepekaan telingaku yang lain
membantuku untuk menerjemahkan bunyi nada dalam notasi
angka. Kebanyakan underground atau punk, minimal genre rock
tahun 90-an. Pernah ia memainkan keroncong, yang tampak
sebagai lelucon ketimbang usaha kreatif yang patut ditonton.
Aku melarang ia memainkan dangdut, cengkok dangdut akan
mengacaukan pesan. Seperti halnya aku sulit membedakan susah
dan senang dalam setiap iramanya: dangdut susah senang tetap
goyang, itu masalahnya. Lalu, notasi angka itu kuterjemahkan
sendiri menjadi kode yang sudah kusepakati dengannya. Peranku
berakhir sebagai penafsir.
Ada satu rumah bernomor 325, alamat itu muncul dua kali
dalam seminggu dalam nadanya. Perhimpunan-perhimpunan
terselubung. Agenda-agenda rahasia. Topik Zine—edaran tak
resmi yang diperbanyak sendiri. Dan sepotong lirik berjudul
you Rise me Up. Rutin dalam tiga bulan terakhir kabar-kabar
membanjir. Pesan balik aku kirimkan sebagai komentar balasan
dalam laman Youtube-nya. Ikan-ikan akan dipancing umpan.
Tanganku menyusup lembut sebagai perantauan. Emosinya
yang labil dan narkoba melindungi jatidirinya dengan sempurna.
434 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang