Page 441 - Mozaik Rupa Agraria
P. 441
wabah penyakit mata, kadas, dan kudis. Lengkap sudah, miskin
dan penyakitan. Penduduk desa-desa tetangga mengejek mereka
karena kemiskinan dan penyakitan. Mereka disebut Wong
Cubung, orang-orang terbelakang dengan wajah berkabung.
Tak ada yang abadi, tanpa kecuali nasib para manusia
pasir. Ketika itu, tahun 1980-an, sebutir dari para manusia pasir
menemukan keajaiban. Ia bertemu sebatang cabai yang tumbuh
pada lapukan tahi sapi, di hamparan pasir itu. Pertemuan itu
ia renungkan, ia coba berulang-ulang. Hingga ia yakin bahwa
hamparan gurun itu dapat dihijaukan.
“Petani kecil, seperti orang yang terendam sebatas leher,
riak kecil saja sudah menenggelamkannya. Begitulah, mereka
mengutamakan keselamatan ketimbang spekulasi,” ujar begawan
Scott. Ya, ada benarnya. Sebutir pasir itu hanya akan dianggap gila
oleh manusia pasir lainnya bila ia umbar cerita. Ia putuskan untuk
menguji keyakinan dengan menanam beberapa petak. Hingga
akhirnya ia peroleh panen pertama, panen kedua, dan seterusnya.
Seiring waktu ia mulai panen pengetahuan. Pengetahuan tentang
rancangan irigasi hemat energi, berupa sumur berantai, mereka
menyebutnya sumur renteng. Pengetahuan tentang pagar hidup
yang menghalangi angin bergaram sekaligus memberikan
panen tambahan. Pengetahuan tentang palir, teknik pengolahan
tanah pasir untuk mengawetkan unsur hara. Pengetahuan
tentang pengendalian hama. Pengetahuan tentang kombinasi
dan pergiliran tanaman. Perlahan ia pun menuai kekuasaan,
kekuasaan menaklukan tantangan alam. Praktik dan perenungan
selalu saja memberi panen berganda.
Sebutir pasir, orang Cubung itu, beralih rupa menjadi juru
warta, pengabar kegembiraan. Pasir (saling) Berbisik. Sejarah
baru dituturkan, ditularkan, diturunkan. Percobaannya menjadi
sumber penghidupan baru. Hari beralih minggu beralih bulan
428 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang