Page 543 - Mozaik Rupa Agraria
P. 543
rindu pada anak-anaknya yang kurang memperhatikannya, tetapi
menurutku cara bibiku unjuk rasa berlebihan.
Brippol Wahyu tergopoh-gopoh mendatangiku ketika aku
sedang menikmati secangkir kopi di teras rumahku malam ini.
Kukira ia menemukan bukti baru. “Komandan. Tolong saya, Pak
Komandan,” katanya gugup.
“Tenang, tenang dulu, atur nafas, lalu berceritalah pelan-
pelan,” aku menenangkannya, “ada apa, Wahyu?”
“Waduh! Tamat riwayat saya, Pak,” Wahyu semakin gugup.
“Kok tamat riwayat segala. Sebenarnya ada apa, Wahyu?” Aku
semakin bingung.
“Pak, ini kabar buruk. Husen…”
“Iya ada apa dengan Husen?”
“Husen ketahuan sering melakukan pungutan liar, ada warga
desa sebelah yang melaporkannya ke Polda. Kebetulan ia punya
kerabat di Polda, makanya ia berani.”
“Terus? Sekarang gimana Husen?”
“Ditahan, Pak. Besok ia menjalani pemeriksaan ke-2. Saya
tak sengaja mendengar percakapan Pak AKBP Puntodewo dengan
Wakapolda di kantor, katanya kasus ini akan terus didalami.
Kabarnya, Husen mengaku melakukan pungutan liar karena
terbelit hutang pada Pak Prawiro. Saya takut ikut dipecat, Pak.
Gimana ini, Pak. Tolonglah saya.”
Seketika kakiku kehilangan pijakan. Apa yang kutakutkan
selama ini terjadi. Bagaimana jika giliran aku yang diperiksa?
Bagaimana jika mereka tahu aku telah menjalankan perusahaan
hitam ini? Bagaimana jika mereka yang telah kutolong berbalik
menuntutku karena tahu telah aku rugikan? Bagaimana jika
aku dipenjara dan dipecat secara tidak hormat? Bagaimana jika
530 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang