Page 247 - Kembali ke Agraria
P. 247

Pikiran Rakyat, 3 Januari 2006








                     Menunggu “Ratu Adil” Agraria








                   AJAH agraria yang mencuat sepanjang 2005 adalah konflik
            Wagraria yang mengeras. Tragedi berdarah akibat konflik agra-
            ria datang silih berganti. Sebagian yang menjadi korban adalah ko-
            munitas masyarakat adat—seperti di Kontu, Muna, Sulawesi Teng-
            gara, dan kaum tani seperti di Tanak Awu, Lombok Tengah, NTB.
            Tidak sedikit pula kaum miskin di perkotaan jadi bulan-bulan peng-
            gusuran dari sepetak tanah dan tempat tinggalnya.
                Komnas HAM bersama sejumlah organisasi nonpemerintah
            mencatat setidaknya 50 kasus konflik agraria berdimensi pelanggaran
            HAM berlangsung di tahun 2005. Kasus ini mencakup sektor-sektor
            agraria penting seperti pertambangan dan perkebunan besar, kehu-
            tanan, fasilitas umum, konservasi, pertanian, perkotaan, transmigrasi,
            serta kelautan, dan pesisir. Konflik agraria yang diwarnai kekerasan
            menjadi bukti sahih masih bercokolnya otoritarianisme di lapangan
            agraria. Reforma agraria sebagai jawaban kunci atas problem agraria
            masih ibarat macan kertas.
                Mengacu Soetarto dan Shohibuddin (2005), ada enam dampak
            ganda (multiplier effect) dari pelaksaaan reforma agraria. Pertama, akan
            menciptakan pasar atau daya beli. Melalui pemerataan tanah, maka
            tercipta kekuatan daya beli yang artinya juga kekuatan pasar. Kedua,
            petani dengan aset tanah yang terjamin dan memadai akan mampu
            menciptakan kesejahteraan bagi keluarganya dan menghasilkan sur-
            plus untuk ditabung. Ketiga, dengan berkembangnya kegiatan ekonomi

                                        228
   242   243   244   245   246   247   248   249   250   251   252