Page 281 - Kembali ke Agraria
P. 281
Usep Setiawan
tak lepas dari kecenderungan globalisasi. Dengan masuknya Indo-
nesia ke dalam Perjanjian Pertanian (AoA) WTO maka terjadi proses
liberalisasi pertanian yang radikal. Liberalisasi pertanian menyerah-
kan sistem pertanian dan nasib petani Indonesia kepada mekanisme
pasar bebas, liberalisme pertarungan bebas (free-fight liberalism). Siapa
yang kuat, dia yang menang. Siapa yang lemah, dia yang kalah
(Bonnie Setiawan, 2003).
Salah satu bentuk liberalisasi pertanian ialah pertanian biotek-
nologi melalui rekayasa genetika yang menghasilkan transgenik-
Revolusi Hijau Jilid Kedua. Melalui kecanggihan teknologi, kini ber-
bagai tanaman bisa diambil gen-nya kemudian disisipi gen dari tanaman
lain atau dari makhluk lainnya sehingga menghasilkan varietas baru.
Rekayasa genetika atau genetically modified organism (GMO) telah
berkembang pesat dan menciptakan monopoli teknologi. Contohnya
Monsanto yang mendapatkan hak paten nomor 6.174.724 sebagai
hak paten pertama untuk teknologi rekayasa genetika dalam kaitan-
nya dengan riset tanaman trasgenik, yaitu menggunakan teknik anti-
biotic-resistant marker gene. Dampak negatif GMO bagi kesehatan kon-
sumen dan efek buruk terhadap lingkungan hidup masih terus jadi
kontroversi.
Perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati me-
mang harus dilakukan, namun diletakan dalam konteks pencapaian
kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, sekaligus kelestarian ling-
kungan. Konservasi juga harus dimaknai sebagai pemanfaatan berke-
lanjutan, bukan tak boleh digunakan sama sekali. Kita harus cegah
monopoli perdagangan genetik yang hanya menguntungkan korpo-
rasi multinasional tetapi merugikan kepentingan nasional. Kita juga
harus menghindari konservasi keragaman hayati yang semata-mata
melindungi sumberdaya yang menunggu giliran untuk dieksploitasi
pemodal besar.
Yang dibutuhkan segera adalah penataan struktur dan sistem
agraria dan pengelolaan kekayaan alam kita secara menyeluruh
sehingga memakmurkan rakyat.***
262