Page 203 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 203
Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis
terlihat tidak dapat terintegrasikan, meski beberapa upaya dan
pengalaman ke arah itu telah membuka celah sendiri. Koperasi
Wangunwatie menjadi satu inspirasi bagaimana gerakan rakyat
mampu mengembangkan potensi ekonomi mereka secara mandiri,
bukan sebagai objek penerima yang pasif (seperti dalam perspektif
developmentalistik). Sehingga dapat menjadi rujukan pengambil
kebijakan untuk mensinergiskan policy proses mereka untuk tujuan
pemberdayaan ekonomi pedesaan. Kedua, penyamaan platform
‘ideologis’ antar pihak dengan meletakkan persoalan ketimpangan
struktur agraria sebagai akar persoalan kemiskinan dan ketidakadilan
sosial, ekonomi dan politik. Sehingga substansi pelaksanaan RA
yang sejalur dengan cita-cita kebangsaan didudukkan menjadi
konsep rujukan pelaksanaan program pembangunan daerah, bukan
pelengkap dan “proyek” kebijakan pertanahan. Pengalaman Tim
Fasilitasi Konflik Agraria di Blitar, dengan segala kekurangannya,
masih dapat menjadi media pembelajaran berharga antar pihak
untuk diteruskan. Proses integrasi mesti dibarengai kesadaran
kesetaraan dan kemauan sungguh-sungguh untuk mengabaikan
dulu ego sektoral, kejumudan TUPOKSI, dan kekakuan koordinasi
untuk tujuan bersama yang lebih prioritas bagi kepentingan
bersama.
Ketiga, penggenapan prasyarat pasca land reform, pengembangan,
penguatan dan proteksi pasar bagi hasil kelola ekonomi rakyat
berbasis potensi lokal. Di satu sisi keberhasilan satu tahap land
reform yang dilakukan oleh gerakan Wong Persil di Blitar telah
meningkatkan kepercayaan diri dan kesejahteraan warganya, namun
di sisi yang lain, masih membutuhkan penggenapan kekurangannya
pada wilayah acces reform-nya. Termasuk di dalamnya mewujudkan
agenda yang belum terselesaikan, misalnya pembentukan Desa
Baru yang dalam konsep idealnya mengundang BAPEDA dan
— 184 —