Page 208 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 208

Epilog

                 Apa yang terjadi pada pengaturan tanah adat pun menunjukkan
             situasi yang serupa. Selama empat puluh tahun semenjak UUPA
             1960 tidak ada satupun undang-undang yang menegaskan hak
             adat secara bersih dan sistematis, sehingga bisa mengakomodir
             situasi tanah adat di Indonesia. Zuhdi dan Surya, dalam tulisanya,
             juga menemukan bagaimana incompatibilitas ini muncul dan
             menjadi salah satu ujung dari beragam carut-marut pengaturan
             tanah adat di Indonesia.
                 Kecenderungan watak proseduralisme ini sekalipun
             bergandengan dengan imajinasi penyejahteraan namun terkungkung
             dalam pola pemikiran yang ekonomistik dan beorientasi
             pertumbuhan. Inilah yang dalam tulisan Muhammad Yusuf tentang
             Pemberian HGU di Kalimantan Selatan mendasari kebijakan
             dan pemberian HGU bagi masuknya pengusaha-pengusahan
             besar yang mengantongi izin pengelolaan sumber daya agraria
             baik berupa pertambangan maupun perkebunan. Yusuf lebih
             menegaskan lagi bahwa asumsi pertumbuhan yang mendasari
             modal pembangunan investasi skala besar tidak terbukti mampu
             membawa rakyat berkembang bersamaan dengan pertumbuhan
             perusahaan perkebunan dan pertambangan yang memperoleh
             HGU dalam skala besar. Sedangkan dalam temuan Eko dan Didi
             program pengentasan kemiskinan pun sejauh ini hanya diletakkan
             sebagai “serba benda dan ekonomistik” seraya melupakanya sebagai
             hasil dari kondisi struktural yang lebih luas.
                 Di sisi lain, inisiatif-inisiatif lokal masyarakat sebagai ‘siasat’
             kalau bukan ‘perlawanan’ terhadap model kepengaturan state-centris
             yang tersebar di berbagai wilayah dan memiliki corak yang beragam
             dalam cara mereka menampilkan diri, berjalan sendiri dan tidak
             memperoleh pengakuan yang semestinya dari negara. Alih-alih
             justru kadang dianggap sebagai ketidaktundukan kepada otoritas

                                     — 189 —
   203   204   205   206   207   208   209   210   211   212   213