Page 210 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 210
Epilog
seperti ditunjukkan oleh penulis-penulis buku ini, oleh negara
dilihat sebagai proses input bagi perubahan kondisi agraria daripada
sebagai hasil (out put) negosiasi yang berlangsung dalam ruang
partisipasi. Akibatnya, kebijakan ‘pemerintah’ sering melahirkan
resistensi ketimbang partisipasi rakyat.
Kecenderungan ini, menurut Sangkoyo (1998), merupakan
konstruksi logis dari watak dasar yang dibawa oleh kata “pemerintah”
yang kata dasarnya adalah ‘perintah’. Dengan begitu pemerintah
tidak jauh-jauh dari mitos berisi pertunjukkan sumber-sumber
alam, orang, barang, dan uang, dikelola dan seluruh birokrasi
negara adalah pemain panggungnya. Rakyat sendiri dalam
hubungan itu berperan sebagai penonton yang terus membayar
karcis pertunjukkan dan partisipasi paling jauh hanya sebagai
komentator atau kritikus. Oleh karena itu, Sangkoyo mengajukan
konsep tandingan yaitu “pengurusan” yang akrab bagi penutur
bahasa Indonesia dan mengacu pada konsep pokok yang lebih
jitu: urus. Meskipun demikian upaya ini akan sama gagalnya bila
rakyat sendiri tidak aktif dan tidak berkesungguhan meng-urus
apa yang menjadi prasyarat kehidupanya (Sangkoyo 1998:91,
Fauzi 2009:645).
Konsep ‘urus’ memberikan nuansa tekanan pola pembangunan
dan watak yang lebih terasa memberikan ruang bicara lebih
banyak kepada rakyat daripada konsep ‘perintah’ yang selama
ini menempatkan negara sebagai otoritas pengatur utama ,yang
kebijakanya kadangkala harus diikuti oleh siapapun dan dalam
kondisi apapun. Meskipun gagasan ini masih jauh dan sulit
diterima oleh ‘pemerintah’ itu, tetapi apa yang ingin ditekankan
adalah memberikan ruang besar partisipasi rakyat, pengelolaan
sumber-sumber alam, manusia, barang, uang, dan sebagainya
bukan monopoli negara atau pemerintah melainkan merupakan
— 191 —