Page 214 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 214
Epilog
kekuatan-kekuatan sosial yang serupa itu. Artinya, apa yang disebut
subyek aktif memang tidak ada, sehingga sulit memunculkan
mobilisasi otonomi masyarakat dari bawah itu. Dalam kondisi
yang demikian ini tentu tidak mudah membayangkan skema
Borras dan Franco itu dapat berjalan. Prosesnya justru kadang
lebih banyak didominasi oleh pengaturan-pengaturan state-centris
daripada people-centris. Karena itu keberadaan active subject atau
active citizenship merupakan prasyarat penting bagi munculnya
mobilisasi otonomi masyarakat dari bawah.
Dalam pengalaman Indonesia, mengapa gerakan agraria
“terlambat hadir” beberapa dekade terakhir dibanding dengan
di negara-negara lain tersebut, disebabkan adanya faktor sejarah.
Indonesia kehilangan ribuan kelompok terpelajar yang ada di
desa maupun di kota pada pasca 1965. Mereka inilah yang saat
itu memegang peranan dalam proses transformasi sosial utamanya
di pedesaan, sebagai subyek-subyek yang aktif.
Lima tulisan dalam buku ini berhasil melihat ketidaksambungan-
ketidaksambungan cita-cita besar agraria dan implementasinya
melalui birokrasi agraria sehingga menimbulkan ketidakamanan
tenurial yang berakibat pada masih dipertahankanya pola-pola
lama dalam pengurusan agraria. Salah satu persoalan yang ikut
menyumbang atas ketidaksinkronan ini adalah meskipun di
beberapa wilayah kebijakan sudah lumayan terjadi perubahan
namun tidak dibarengi dengan memperbesar kemampuan deteksi.
Kalaupun pola-pola state-centris masih ingin diterapkan sebagai
cara pengaturan agraria namun perlu dibarengi dengan penguatan
deteksi problem-problem agraria dan bagaimana problem-problem
ini diselesaikan. Ruang negosiasi melalui partisipasi penting
dilakukan tetapi yang lebih penting lagi adalah kemampuan
mengelola ruang ini sebagai proses politik. Tampaknya keterampilan
— 195 —